2007-11-26

The Shock Doctrine

Ini adalah terjemahan saya dari resensi bukunya Naomi Klein ”The Shock Doctrine”. Resensinya dimuat dalam harian ”Dagens Nyheter” tanggal 27 Oktober 2007 dan ditulis oleh Ulrika Kärnborg.

Tahir

________________________________

Sabtu 27 Oktober 2007 DN

________________________________

RESENSI BUKUSABTU

”No Logo” telah mendapatkan pengikutnya yang tebal. ”Doktrin-doktrin shock”nya reporter Kanada Naomi Klein adalah sebuah buku seram tentang kapitalisme rampok masa kini. Ulrika Kärnborg mebaca suatu karya matang yang berusaha untuk mejelaskan masa yang sedang kita jalani sekarang.

MEMBIKIN SHOCK DAN RAMPOK

Buku-buku

NAOMI KLEIN

”DOKTRIN-DOKTRIN SHOCK”
Tembusan Kapitalisme Katastrofi
Terjemahan Henrik Gundernås dan Stefan Lindgren

ORDFRONT FÖRLAG


Sebagai skribent utama yang muda pada tahun sembilan-puluhan, saya terdampar pada satu seminarium tentang masa depan ekonomi dari Afrika Selatan, ANC baru saja sampai kepanggung kekuasaan.

Dengan merasa sangat heran saya duduk dan mendengarkan anak-anak muda umur duapuluhtahunan dari World Bank dan International Monetary Fund (IMF) yang arrogant dan memakai jas gelap yang perfekt, bicara tentang keharusan proces privatisasi yang total dan mendalam di Afrika Selatan. Tampaknya surrealist mendengar suara yang dingin dan netral dari keluaran Harvard yang baru itu bicara mengenai dipecatnya ratusan ribu pekerja-pekerja hitam yang langsung akan dilemparkan kedalam kelaparan dan kemiskinan karena pemberi pinjaman menuntut hal itu.

APA YANG TIDAK saya fahami waktu itu adalah kenyataan bahwa Bank Dunia dan IMF menyampaikan model-model neo liberalisme itu bukan sebagai usul untuk negeri-negeri dunia ketiga, melainkan sebagai diktat. Hasilnya kita semua ketahui: krisis ekonomi, suatu masyarakat yang dihancur-leburkan serta krisis kepercayaan sangat besar terhadap ANC yang sebagai partai tidak bisa mendapatkan kembali kepercayaan umum. Hal yang sama terjadi dimana-mana, tidak hanya di Afrika. Waktu itu, pada tahun sembilan-puluhan, hanya ada satu-satunya jalan bagi negeri-negeri miskin yang perlu meminjam dari Barat. Dibuku barunya jurnalis dan aktivis Kanada Naomi Klein, apa yang dinamakan sebagai jalan satu-satunya itu telah menapatkan satu nama. Dia menamakannya secara singkat ”Doktrin-doktrin shock”.

Itu adalah sebuah buku yang fantastisk dan menyeramkan yang Klein telah tulis. Pada suatu ketika kelihatannya tidak mungkin untuk memikirkan suatu sukses ulangan dari Bible aktivis ”No Logo”, namun ”Doktrin-doktrin shock” adalah lebih dari itu, ia adalah suatu karya matang yang membikin sesuatu yang begitu luar biasa seperti satu percobaan untuk menjelaskan masa yang kita jalani sekarang. Secara pribadi saya percaya bahwa itu merupakan salah satu buku terpenting dalam dekade ini.

NAOMI KLEIN MENCERITAKAN bahwa dia mendapatkan idé buku itu ketika redaksi Harper´s Bazaar memutuskan untuk mengirimnya ke Irak. Dia memikir untuk menulis sebuah artikel tentang bagaimana sikap penduduk terhadap rencana-rencana penguasa-okupasi untuk memprivatisasikan dan mengobral sektor industri kepada perusahaan-perusahaan asing langsung dimuka mata mereka.

Setelah sampai disana dia melihat bahwa orang-orang Irak terlalu sibuk untuk mencari air bersih dan melindungi diri dari bom-bom serta penyerbuan-penyerbuan, sehingga tidak perduli dengan apa yang terjadi dengan ekonomi negerinya. Dia melihat juga bahwa semua yang terjadi di Irak – kaos, pencetusan kekerasan dan kemasa-bodohan yang sistematis serta diperhitungkan – dapat dipakai sebagai model untuk bisa mengerti recept taktis dari kapitalisme masa kini, sesuatu yang akan dia sebut sebagai ”Doktrin-doktrin shock”.

Sesungguhnya, menurut Naomi, cerita tentang Irak dimulai pada dekade yang lain dan di kontinent yang lain sama sekali. Kita harus kembali ke tahun tujuhpuluhan dan ke Sekolah neokonservatif Chicago yang tersohor serta pendeta utamanya. Milton Friedman, untuk bisa mengerti siapa dan apa yang menanam bibit ideologis, yang boleh dikatakan telah memberikan buahnya untuk pertama kali dengan Perang Irak.

Kita semua tahu bagaimana USA dan CIA, secara militer dan dengan bantuan ekonomi telah menyokong jendral Augusto Pinochet yang ditakuti, supaya dia bisa mejatuhkan pemerintah sosialisnya Allende dan kemudian menyatakan dirinya sebagai diktator.

Yang tidak begitu diketahui adalah bahwa ”sokongan” Amerika juga mempunyai segi ekonomis/ideologis. Pada tahun tujuhpuluhan, profesor ekonomi Milton Friedman yang konservatif telah bekerja sebagai penasehat pribadi Pinochet. Friedman – menurut pengetahuan saya satu-satunya penerima hadiah Nobel yang bersahabat karib dengan diktator-diktator – mempunyai pendapatnya sendiri yang optimistis terhadap krisis-krisis. Disalah satu karyanya yang penting dia menyatakan bahwa ”hanya suatu krisis – yang real atau yang dalam fantasi”- bisa mendatangkan perubahan yang sejati.

DI CHILE dia dan pengikut-pengikutnya – ratusan orang-orang Chile telah diberi pendidikan ekonomi gratis di Universitas Chicago – mendapatkan kesempatan untuk mepelajari suatu nasion dalam keadaan krisis. Setelah kup negara yang penuh kekerasan, negeri itu ditimpa pula oleh hyper-inflasi. Friedman memberi Pinochet recept yang kemudian merupakan obat standard yang diordinasikan, yang menyebabkan musibah bagi pasien-pasiennya: penurunan pajak, pelaksanaan free-trade, privatisasi sektor service, pemotongan-pemotongan sektor public dan deregulasi. Kecuali itu dia mendapat perintah untuk melaksanakan hal-hal ini secepat mungkin, sebelum penduduk yang kena shock dan sudah kena penderitaan berat sempat bereaksi.

Klein menulis, bahwa tigapuluh tahun kemudian, recept shock ini bisa dipakai lagi di Irak – hanya saja kali ini dengan cara yang lebih penuh kekerasan. Pertama-tama negeri ini dilucuti senjatanya. Kemudian dinvasi. Ketika penduduknya masih dalam keadaan shock yang akut, negeri ini ”dibuka” untuk investor-investor asing. Irak, dimaksudkan untuk dijadikan Disneylandnya ekonomi yang baru, ”Harimau di Tigris”, sebagaimana salah seorang dari administrasinya Bush bilang bercanda. Sementara penduduk dicekam oleh serdadu-serdadu lego dan perusahaan-perusahaan sekuriti privat, maka pemilik-pemilik modal serta pekerja-pekerja asing hidup bersenang-senang di zon yang terlindung, dimana hamburger dan gym menimbulkan illusi bahwa mereka sedang berada dalam liburan di Florida.

Sebaliknya dari apa yang selalu dikatakan Bush, orang-orang Amerika sejauh mungkin berusaha untuk mengundur-undur pemilu di Irak – dan okupasi dari Irak, tulis Klein, tidak pernah bertujuan untuk ”membangun kembali” negeri ini, melainkan untuk menghancurkannya, membelah-belahnya, dan menawarkan potongan-potongannya untuk dijual kepada Barat.

Seperti umpamanya mereka sangat terburu-buru untuk menulis undang-undang tentang minyak. Hal mana telah membawa perusahaan-perusahaan seperti Shell dan BP untuk menandatangani perjanjian yang berlaku selama 30 tahun dan yang memberi mereka hak untuk mengantongi bagian sangat besar dari penghasilan minyak Irak. Uang yang sebetulnya dan seharusnya bisa dipakai untuk membangun kembali negeri yang babak-belur itu sekarang melenyap ke Barat. Ini adalah doktrin shocknya Friedman dalam bentuknya yang paling bagus – tidak pernah kapitalisme katastrofi membongkar dirinya begitu tuntas seperti di Irak.

DENGAN LATAR BELAKANG DARI fakta-fakta ini Naomi berpendapat bahwa tiga puluh lima tahun yang terakhir ini rupanya sangat lain. Banyak dari kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dianggap sebagai tindakan-tindakan sadis yang terisolir dari rezim-rezim anti demokratis, tapi menurut Klein dilakukan untuk membikin rakyat ketakutan dan untuk mempersiapkan jalan untuk reforma-reforma pasar yang radikal – serta kapitalisme rampok.

SESUATU YANG SPESIAL MENARIK dari satu pasal dibuku itu adalah tentang terapi shock militer dan metode torture yang dengan persetujuan diam-diamnya CIA dikembangkan di Montreal pada tahun-tahun 50-an. Para dokter menjalankan experiment terhadap individu-individu yang mempunyai penyakit jiwa ringan, antara lain mereka dikenakan shock elektris dan drugs yang psykedelisk. Metode-metode yang dikembangkan di kamar-kamar seram modern ini adalah yang sekarang dipakai di Guantanamo Bay dan di penjara Abu Ghalib.

Melalui pemakaian torture sebagai metaphor, Klein ingin meperlihatkan bahwa ini adalah sikap yang sama yang menjadi basis dari terapi-shock ekonomis; kepercayaan bahwa manusia adalah paling baik sebagai lembaran bersih belum ditulisi, bahwa orang harus menghapus masa lalu untuk membentuk sesuatu yang baru. Utopi neoliberal ini mempunyai persamaan-persaman yang keras dengan marxisme, dan sama-sama tak pandang bulu.

Dan yang membikin ”terapi-shock” ini sangat menyeramkan ialah bahwa ia dengan demikian menyimpulan bahwa kejadian-kejadian yang kelihatannya terpisah-pisah telah membentuk suatu pola. Itu bukan konspirasi, sebagaimana kaum kanan sering bilang, melainkan suatu pola baru-tua dari dominasi Barat dan terutama Amerika. Harganya supaya dominasi ini bisa dipelihara bisa tak terbatas tingginya.

TAPI PERTANYAAN YANG timbul bila membaca bukunya Klein apakah neoliberalisme – atau neokonservatisme tidak sedang dihadapkan pada tantangan-tantangannya yang paling serius.

Setelah kegagalannya di Irak, kelihatannya rezim Bush sedang cepat mempersiapka diri untuk serangan baru – kali ini terhadap Iran. Dispekulasikan bahwa Israel akan disuruh mengambil langkah pertama, opini Amerika tidak bisa menerima peperangan baru. Jika Iran diserang, betapapun juga itu akan berakhir dengan katastrof, barangkali perang dunia. Dan sekaligus krisis ekonomi di USA berakselerasi – barangkali lebih serius dan lebih mendalam daripada yang telah diramalkan.

Kita tidak bisa tidak bertanya-tanya, seperti John Graynya The Guardian, apakah kapitalisme katastrofi tidak telah berjalan terlalu jauh.

Satu katastrof lagi tak lain berarti satu katastrof terlalu banyak.


ULRIKA KÄRNBORG
Ulrika.karnborg@dn.se

2007-11-23

Globalisasi dan Welfare di Swedia


Idé egaliter dan solidaritas sudah sejak lama masuk dalam subconciousness dan mendapat tunjangan kuat rakyat Swedia dan hal ini juga menjadi dasar dari negeri welfare Swedia. Organisasi buruh yang kuat dinegeri ini selalu berusaha untuk menaikkan tingkat hidup kaum yang terlemah didalam masyarakat dengan memperjuangkan kenaikan gaji mereka, supaya lebih sesuai tingkatnya dengan grup-grup lain. Kecuali itu sektor umum (public sector) yang kuat selalu memberi jaminan bahwa semua orang tanpa tergantung pada ketebalan dompetnya mendapat keamanan atau jaminan sosial yang sama rata. Kaya atau miskin, bila mereka sakit akan mendapat perawatan yang sama. Kalau mereka kehilangan kerja, mereka mendapat tunjangan dan bantuan sedemikian rupa sehingga hidup mereka tidak jatuh sengsara. Kalau mereka sudah tua dan tidak kuat lagi bekerja semua tanpa kecuali dijamin dapat pensiun. Pendidikan dari sekolah dasar sampai universitas adalah gratis dan terbuka untuk semua tanpa pandang asal-usulnya.

Keadaan demikian ini mendekati apa yang diimpi-impikan oleh rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang adil dan makmur. Swedia dikenal didunia sebagai negara maju dengan tingkat hidup yang tinggi dan pembagian pendapatan yang relatif merata dibandingkan dengan banyak negeri-negeri lainnya.

Tapi konkurensi yang meningkat dari dunia internasional sesuai dengan perkembangan globalisasi telah menimbulkan problim bagi negeri welfare Swedia. Kesimpulan ini telah disampaikan oleh sekelompok peneliti. Torben M Andersen dari Århus universitet di Denmark dan ketua dari Dewan Penasehat Ekonomi, Arne Bigsten, professor dalam Development Economy di Gothenburg School of Economics, Karolina Ekholm, docent dan aktif dalam Institusi Perekonomian Nasional di Universitet Stockholm serta Jonas Vlachos, juga dari Institusi Perekonomian Nasional di Universitet Stockholm, telah menulis sebuah buku yang bernama ”Welfare Swedia dan Pasaran-pasaran Global”, serta menulis artikel debat dikoran pagi nasional Swedia terbesar ”Dagens Nyheter” (tanggal 19 November 2007) yang berjudul ”Konsentrasi pada kelompok-kelompok lemah adalah ancaman terhadap negara welfare”.

Basis dan sumber dari pembiayaan negara welfare tidak lain adalah pendapatan pajak, terutama dari kerja, bukan dari kapital. Ini penting sekali untuk ditekankan. Karena itu harus selalu diusahakan full employment. Pembiayaan politik welfare akan lebih terjamin apabila: 1) ada full atau hampir full employment 2) para pekerja mempunyai gaji tinggi. Semakin banyak daya tenaga kerja yang diaktifkan dalam dalam pasaran kerja dan semakin tinggi gaji mereka, maka semakin besarlah pendapatan pajak yang bisa dipakai untuk mebiayai welfare.

Menurut Karolina Ekholm cs, proses globalisasi telah menyebabkan semakin saling terkaitnya dan semakin terintegrasikannya ekonomi-ekonomi dunia. Selain dari itu timbul tantangan tentang perubahan struktural apa yang diperlukan oleh tiap negeri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi gaji-gaji, employment serta pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Negeri seperti Swedia bisa menjadi winner dalam proses globalisasi dengan lebih mengarahkan ekonominya kepada kegiatan-kegiatan yang intensif dibidang kapital dan pengetahuan.

Walaupun Swedia bisa menjadi winner didunia dalam proses globalisasi yang semakin intensif ini, tetapi didalam negeri timbul satu situasi yang menyulitkan diteruskannya negara welfare dalam bentuknya yang sekarang. Tuntutan konkurensi dunia yang meningkat terhadap spesialisasi, telah menyebabkan sangat berkurangnya permintaan terhadap tenaga-kerja berpendidikan rendah dan tanpa pengetahuan spesial. Mereka-mereka yang merupakan tenaga kerja dengan produktifitas yang rendah ini di Swedia menjadi kelompok losers dalam proses globalisasi dunia.

Sistim assuransi sosial yang umum tidak dapat menolong mereka. Sebab kalau mereka diberi tunjangan sosial, mereka akan jatuh pada ketergantungan permanen pada tunjangan itu dan terlempar keluar dari dunia employment. Hal ini pada gilirannya akan bertentangan dengan tuntutan negara welfare yang menghendaki tingkat employment yang tinggi. Alternatifnya, supaya mereka tetap bisa menarik dipasar employment, mereka hanya bisa diberi pekerjaan apabila gajinya rendah sekali tetapi risikonya mereka akan menjadi proletariat dengan gaji rendah. Soal pokoknya ialah, bagaimana memasukkan mereka kembali kepasar pekerjaan tanpa menyebabkan mereka menerima gaji yang telalu rendah.

Karena itu Swedia harus menyusun suatu strategi welfare yang baru untuk para losers. Menurut Karolina Ekhom cs, dalam jangka panjangnya pendidikan memiliki kedudukan yang central. Harus bisa dijamin agar sesedikit mungkin orang masuk kepasaran kerja dengan kwalifikasi yang terlalu rendah. Pengangguran punya kaitan yang jelas dengan tingkat pendidikan.

Dalam jangka pendeknya hendaknya dilaksanakan macam-macam policy yang mempermudah masuknya orang-orang berkwalifikasi rendah kepasaran kerja, antara lain dengan keringanan-keringanan perpajakan bagi perusahaan-perusahaan yang membuka kesempatan kerja bagi mereka.

Sebagaima telah disebut diatas, sumber perpajakan yang paling utama tidak bisa lain adalah dari kerja. Kapital sifatnya terlalu mobile, dia bisa gampang berpindah-pindah menembusi batas-batas kenegaraan. Meningkatnya mobilitas berlaku juga bagi tenaga kerja berpendidikan tinggi. Karena itu Swedia harus meberikan kepada mereka keringanan-keringanan dalam bidang perpajakan agar Swedia tetap menjadi negeri yang menarik bagi tenaga-tenaga kerja berpendidikan tinggi.

Problim lain adalah perbedaan-perbedaan antar region. Konkurensi internasional telah memukul berbagai region di Swedia secara berbeda. Sebagian region sangat diuntungkan karena mempunyai konsentrasi perusahaan-perusahaan yang pasarannya meluas, sedangkan region lain dirugikan karena perusahaan-perusahaannya kalah dalam berkorurensi dengan perusahaan-perusahaan luar-negeri. Tendensi ini diperkuat oleh prinsip penggajian Swedia yang menyatakan ”gaji sama untuk pekerjaan yang sama” (tidak perduli dimana orang itu kerjanya). Hal ini menyebabkan region-region yang terpukul tidak bisa memakai niveau gaji lebih rendah sebagai alat konkurensi.

Menurut Karolina Ekholm cs. Swedia mempunyai prasyarat untuk mengambil keuntungan dari meningkatnya proses globalisasi didunia karena Swedia mempunyai 1) birokrasi yang effektif dan berjalan baik, 2) tingkat korupsi yang rendah dan 3) kredibilitas yang tinggi antara sesama warga-negaranya. Walaupun demikian. keberhasilan Swedia dalam proses globalisasi, secara paradoxal tidak menyelesaikan problim-problim negara welfare. Karena itu negara welfare Swedia harus menyesuaikan diri supaya tetap bisa mempertahankan elemen-elemen dasar dari negara welfare.