2008-07-28

Resensi Buku "Princess"


PRINCESS – sebuah resensi

Oleh: Tahir Pakuwibowo



Tanggal 1 Agustus 1990, Riyadh (ibukota Saudi Arabia) digemparkan oleh sebuah berita, bahwa Saddam Hussein telah mengirimkan pasukan-pasukannya untuk melakukan invasi militer kilat di Kuwait. Penguasa Saudi Arabia menguatirkan bahwa Iraq akan menyantap dua makanan sekaligus (Kuwait dan Saudi Arabia).

Ribuan pengungsi dari Kuwait mengalir ke Saudi. Penduduk Saudi menaruh simpati besar kepada pelarian dari negeri saudara dan tetangganya. Kaum perempuan Saudi, disamping rasa simpati, juga sekaligus merasa sangat iri hati kepada saudara-saudara perempuannya dari Kuwait yang datang tanpa kerudung sambil menyetir mobil pula!!! Kebebasan semacam itu hanya sekedar merupakan mimpi disiang bolong bagi perempuan Saudi.

Akibat ancaman dari Iraq, penguasa Saudi akhirnya membolehkan penempatan pasukan-pasukan kafir (USA) ditanah sucinya Islam ini. Kaum perempuan Saudi ternganga mulutnya melihat serdadu-serdau perempuan Amerika bergerak bebas kesana kemari tanpa kawalan orang laki. Mereka sendiri tidak boleh sama sekali bekerja diluar lingkungan rumahnya dan tidak boleh keluar rumah sendirian tanpa ada pengawal laki-lakinya. Kalau mereka mau bepergian keluar-negeri, mereka harus membawa selain paspor, juga surat izin dari suaminya atau ayahnya.

Cerita semacam ini dan banyak lagi lainnya ditulis dalam Princess, sebuah roman autobiography seorang puteri istana dari klan Al Saud yang bernama Sultana (nama samaran), sebagaimana diceriterkannya kepada penulis Amerika sahabatnya Jean P. Sasson. Jean sendiri tinggal di Saudi Arabia sejak 1978. Saya membaca versi Inggerisnya, tetapi saya dengar ada versi Indonesianya juga.

Ada beberapa keuntungan membaca Princess. Dengan buku ini kita bisa melihat dan mempelajari dari dalam, kehidupan dinegeri Saudi Arabia, terutama tragedi kaum perempuannya. Walaupun isinya serius, tapi karena diuraikan dalam bentuk roman yang spannend dan penuh dramatik dan lagi dalam satu struktur yang bagus, buku ini enak dibacanya. Ketika saya masih kecil, saya pernah dengar pepatah ”lain padang, lain belalang”. Saya mengertikannya sebagai ”lain negeri, lain adatnya”. Karena saya sendiri asal Madura/Jawa, soal-soal adat di Padang, Batak, Sulawesi, Kalimantan dll. selalu menarik bagi saya.

Dengan sendirinya mempelajari adat Saudi Arabia, negeri suci Islam, lebih menarik lagi, sungguh execeptionil menarik. Namun sudah bisa saya katakan dari permulaan, membaca Princess bagi saya merupakan juga suatu ”shocking experience”. Mulut saya ternganga membaca bagaimana kaum laki-laki Saudi memperlakukan kaum perempuannya. Di Indonesiapun belum tercapai persamaan antar gender, tapi kalau dibanding dengan perempuan Saudi, maka perempuan Indonesia masih boleh merasa beruntung atas kedudukannya. Baiklah saya coba menyuguhkan beberapa cuplikan kesimpulan dari isi buku Princess.

Perkawinan

Di Saudi berlaku hukum Syari’ah. Orang laki-laki diperbolehkan menurut hukum mepunyai empat isteri, hal mana sudah diketahui umum dan tidak menggemparkan lagi. Tapi soalnya yang spesifik buat Saudi Arabia, bukannya sekedar diizinkan secara hukum, melainkan dipraktekkan sangat luas, terutama dikalangan keluarga istana yang bergelimang dengan petro-dollar. Kecuali itu telah diterima secara sosial (socially accepted) bahwa para sheiks dan pangeran-pangeran mempunyai puluhan selir selain keempat isterinya offisiilnya, bahwa mereka tiga empat kali setahun pergi ke Thailand atau Filipina untuk belanja seks.

Saudi Arabia adalah suatu negeri super patrialkal. Disini laki-laki yang kuasa, laki-laki yang punya suara, kaum perempuan tidak ada harganya sama sekali kecuali sebagi obyek seks serta wadah untuk melahiran anak-anak ketrurunan, dan karena itu harus tutup mulut. Perempuan tidak punya hak memilih calon suaminya, itu adalah hak prerogatif laki-laki, ayahnya. Dan hebatnya lagi, sang ayah cepat-cepat mencarikan calon suami bagi anak perempuannya, segera setelah sang gadis untuk pertama kalinya mendapatkan mens. Ini bisa berarti bahwa gadis-gadis umur 13, 14, 15 tahunan dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat bagi kakek-kakek diatas 60 tahun! Sang ayah tidak perduli apakah suami gadis ciliknya itu pendek, bulat, jelek dan brutal (juga brutal secara seksuil). Yang penting sang menantu adalah seorang kaya atau bangsawan, dan bisa meluaskan social network yang penting bagi sang ayah. Ini bukan suatu hal yang tidak biasa di Saudi Arabia. Kalau dinegeri lain pasti dianggap sebagai pedofili yang menjijikkan, tapi di Saudi normal-normal saja.

Kehormatan keluarga dan ”Kamar perempuan”

Masyarakat Saudi menjungjung tinggi kehormatan keluarga. Tapi yang dianggap bisa merusak nama baik keluarga kebanyakan adalah perempuan. Perempuan dianggap sumber segala musibah didunia. Seorang Ibu selalu merasa ketakutan kalau tidak melahirkan anak laki-laki, yang selalu diagung-agungkan dalam keluarga Saudi.

Kalau terjadi persoalaan perzinahan, maka yang salah pasti yang perempuan dan harus dihukum keras. Pihak laki-lakinya selalu lepas dari tanggung jawab. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang perempuan yang dituduh berzinah telah masuk rumah sakit karena harus melahirkan. Kamarnya dijaga pulisi supaya dia tidak bisa lari. Begitu selesai melahirkan datang beberapa mutawa dan mengangkutnya ketempat hukuman. Mutawa adalah orang-orang agamis yang berfungsi sebagai pulisi moral atau pulisi agama dan sangat ditakuti, juga oleh pangeran-pangeran Al Saud. Ditempat hukuman, sang wanita yang dianggap berzinah dan baru melahirkan itu dilempari batu selama dua jam sampai dia mati. Ini terjadi diabad keduapuluh!

Di Saudi Arabia, seorang ayah bisa menjatuhkan hukuman mati kepada anaknya yang dianggap telah melakukan ”perbuatan yang tidak pantas” dan karena itu menodai kehormatan keluarga. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang gadis yang ketahuan pacar-pacaran dengan beberapa anak muda telah dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya dengan cara menenggelamkannya di kolam renang di villanya atau istananya didepan mata seluruh keluarga besar sang ayah (empat istri dan anak-anaknya yang segerobak). Kejadian kejam demikian tidak ada yang memprotes. Sebaliknya sang ayah mendapatkan pujian dari para ulama dan mutawa karena dia telah ”menjunjung tinggi moral bangsa”.

Suatu bentuk hukuman lain yang juga menyeramkan dan barangkali bahkan paling menyeramkan ialah apa yang dinamakan ”kamar perempuan” (The Woman Room). Seorang gadis waktu belajar di London jatuh cinta kepada seorang pemuda katolik Amerika dan lari dengan dia ke USA. Tapi dia akhirnya bisa dibujuk pulang ke Saudi. Sesampainya kembali dinegeri kelahirannya, pamannya memutuskan untuk menghukumnya dengan ”kamar perempuan”. Ayah gadis itu sudah meninggal, dan kekuasaan atas diri si gadis jatuh automatis ketangan pamannya yang kejam. Sang paman menyuruh para pekerja bangunan menemboki jendela-jendela disalah satu kamar divillanya, mengganti pintu kamar dengan pintu yang tahan suara dan hanya ada lubang kecil untuk menyodorkan sepiring makanan dan segelas minuman. Sang gadis dijebloskan kedalam kamar gelap itu oleh pamannya untuk seumur hidup, tanpa chans untuk keluar! Dia dibiarkan membusuk, menjadi gila dan mati pelan-pelan dalam isolasi total!

Tenaga Kerja Wanita Asing

Kalau ada yang lebih rendah derajadnya dari kaum perempuan Saudi, maka itu adalah kaum tenaga kerja wanita asing. Saudi Arabia yang kaya raya selalu menjadi magnet buat pekerja-pekerja asing. Ayah Sultana sendiri mempunyai puluhan babu, jongos, tukang masak, pekerja kebun dsb. Ayah Sultana punya empat istana diempat kota di Saudi. Semua istananya mesti sama persis, besarnya, bentuknya, perabotannya dsb. Kalau mereka pergi berkunjung kesalah satu kota itu dengan pesawat Lear Jet pribadinya (dengan pilot-pilot kafir Amerika), maka mereka tidak perlu bawa koper, karena diistana yang berikutnya sudah ada segala sesuatunya yang persis sama seperti ”dirumah”, pakaian, handduk, buku-buku, mainan anak-anak, pring-piring, sampai-sampai mobil-mobil Mercedes atau Jaguarnya. Kalau mereka beli sesuatu, mereka selalu beli empat exemplar yang persis sama, untuk ditaruh diempat istananya masing-masing.

Sultana menceritakan bahwa pekerja-pekerja asing yang memberikan service dikeluarganya diperlakukan secara fair. Mereka datang dari segala penjara dunia, Mesir, Sudan, India, Pakistan dan Filipina. Indonesia tidak disebut-sebut sama sekali dalam buku itu. Barangkali waktu itu belum umum. Tapi tidak semua pekerja asing diperlakukan secara baik di Saudi seperti halnya ditempat keluarga Sultana. Salah satu babunya Sultana dari Filipina yang bernama Marci, menceritakan riwayat yang mengenaskan dari teman sekampungnya. Temannya itu rupanya diimport ke Saudi Arabia bukan hanya sebagai babu biasa, tetapi juga sekaligus sebagai hamba sex (sex slave). Dalam kontraknya tidak tertulis tentang hal itu, tapi dia diperkosa beberpa kali setiap hari oleh sang ayah dan dua anak laki-lakinya dikeluarga itu. Si babu Filipina itu tidak berani melapor kepada pulisi, karena dia tahu bahwa pulisi akan selalu menganggap tuan rumah Saudinya yang benar dan mereka sama sekali tidak perduli terhadap nasibnya seorang babu Filipina.

Masyarakat Saudi

Karena kekayaan yang datang tiba-tiba berkat minyaknya, menurut Sultana, orang-orang Saudi itu tidak mempunyai motivasi untuk kerja keras. Terutama para pengeran dan sheik-sheik yang bergelimang dengan petro dollar, mereka merasa bosan dengan hidup sehari-harinya. Semuanya sudah tersedia tanpa mereka perlu bikin sesuatu. Pemeliharaan kesehatan gratis untuk semua, begitu juga pendidikan. Hal ini menyebabkan mereka pada mencari sensasi dengan perempuan, alkohol dan narkoba.

Walaupun disatu pihak masyarakat Saudi kelihatannya sangat teramat puritan dan konservatif, dengan para mutawa (polisi moral atau agama) yang selalu memasang mata elangnya, (tertuama terhadap kaum perempuan), namun dilain pihak orang-orang pada secara diam-diam dibelakang layar minum alkohol dan menggunakan narkoba. Kalau mereka tidak bisa melakukan segalanya itu didalam negeri, meraka terbang ke Eropa atau tempat lain untuk melampiaskan nafsunya. Para pangeran itu sebetulnya benci kepada para mutawa. Ini menunjukkan dichotomi yang menyolok dalam masyarakat Saudi, yang pada saatnya nanti akan membawa keruntuhannya, apalagi kalau sumber minyaknya mulai susut. Saudi Arabia adalah negeri auktoriter yang tertutup dan sangat tidak harmonis, penuh dengan konflikt dan kemunafikan.

Bayangkan, Saudi Arabia itu sudah cukup lama punya banyak dollar, tapi kita tidak pernah dengar tentang ”economic miracle” dinegeri itu, seperti halnya kita mendengar tentang Cina. Memang gedung-gedung pencakar langit yang indah tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Tapi tampaknya tidak ada kemajuan ekonomi yang sejati. Di Indonesia ada kelompok-kelompok yang ingin meniru-niru segi konservatif dari Saudi Arabia. Saya percaya bahwa teman-teman pernah baca tentang satu kejadian di Jawa Barat, dimana seorang Ibu yang habis pulang kerja sore-sore dan sedang menunggu bus, ditangkap oleh orang-orang yang sok-sokan meniru para mutawa di Saudi karena Ibu tsb. dianggap berkelakuan ”tidak pantas”. Apa-apaan sih ini? Kepada saudara-saudara perempuan Indonesia saya ingin bertanya, apakah kalian mau Indonesia dijadikan suatu negeri gelap seperti Saudi Arabia yang melecehi kaum perempuan?



2008-04-30

Aditjondro

RESENSI BUKU

ADITJONDRO: KORUPSI KEPRESIDENAN

Oleh: Tahir Pakuwibowo

George Junus Aditjondro, pria kelahiran Pekalongan ini, terpaksa meninggalkan Indonesia pada tahun 1995 dan hijrah ke Australia karena kritik-kritiknya yang pedas terhadap invasi Indonesia di Timor Leste. Sebagai wakil direktur eksekutif Walhi, dia pernah pada tahun 1987 menerima dari Suharto penghargaan Kalpataru karena jasa-jasanya dilapangan riset lingkungan hidup. Tapi 10 tahun kemudian penghargaan ini dia kembalikan sebagai protes terhadap berbahagai pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia dan diberbagai tempat didunia.

Aditjondro telah menuntut berbagai pendidikan akademis di Makassar, Salatiga, Semarang dan mengambil doktoratnya di New York (Cornell University). Sejak Januari 1996 menjadi lektor jurusan sosiologi dan antropologi di Universitas New Castle, Australia. Disini pula dia mengembangkan mata kuliah Sosiologi Korupsi dan meneliti korupsi yang dilakukan oleh rezim Suharto.

Dalam bukunya ”Korupsi Kepresidenan” Aditjondro berhasil mengumpulkan sejumlah besar material yang menunjukkan betapa luasnya korupsi dan mendalamnya budaya korupsi yang dikembangkan selama masa Orde Baru. Aditjondro mengupas praktek-praktek korupsi terutama pada zaman kepresidenan Suharto, tapi juga setelah Suharto jatuh 1998, berturut-turut semasa kepresidenan Habibi, Gus Dur dan Megawati. Menurut Adicondro, Habibi itu sama korupnya seperti Suharto. Gus Dur tidak korup tapi menjalankan praktek-praktek KKN tertentu yang menguntungkan konco-konco separtainya. Soal Megawati berputar terutama pada sumbu praktek-praktek bisnis suaminya, Taufiq Kiemas yang tidak selalu bersih.

Korupsi Suharto itu mempunyai struktur yang jelas. Ia ditegakkan diatas tiga kaki, istana, tangsi dan partai penguasa. Ketiga kaki itu saling mendukung satu sama lain dan saling sama-sama meberikan keuntungan melalui KKN (Kolusi. Korupsi dan Nepotisme), sehingga sulit dirubuhkan. Akibat KKN dalam ketiga kaki oligarki itu Suharto beserta kroni-kroninya, terutama anak-anaknya serta anggauta-anggauta keluarganya yang lain, berhasil membangun suatu imperium ekonomi yang luar biasa, yang secara geografis menjangkau Afrika, Asia, Amerika Latin (Suriname) dan Eropah. Tapi itu semua sama sekali bukan untuk kepentingan nasional dan rakyat Indonesia melainkan untuk kepetingan kerakusan mereka sendiri.

Beberapa metode busuk yang dipakai untuk memperkaya diri: pemberian hak monopoli tertentu kepada anak-anak Suharto, umpamanya monopoli import cengkeh dari Afrika. Pendirian ”yayasan-yayasan” dengan kedok ”bantuan kepada rakyat kecil”, padahal sebenarnya dibelakangnya adalah bisnis besar tanpa bayar pajak. Banyak ”yayasan” ini diketuai oleh Suharto sendiri. Sistim pembukuannya selalu gelap dan tidak transparent. Ada satu grup yayasan Indonesia yang kekayaannya lebih besar dari grup yayasan terkaya di USA.

Investor-investor multinasional mengerti bahwa supaya mereka bisa melakukan investasi modal yang lukratif di Indonesia, mereka harus meberikan sekian persen dari saham perusahaannya kepada salah satu anak Suharto. Ini selain bentuk-bentuk suapan lainnya. Metode selanjutnya adalah pemakaian peralatan-peralatan negara untuk keperluan bisnis pribadi anak-anaknya Suharto, umpamanya pengangkutan sapi-sapi dari Australia ke ranchnya Tommy Suharto di Jawa Barat dengan kapal-kapal pengangkut milik Angkatan Laut.

Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada KKN ini menumbuhkan kapitalis-kapitalis kaya raya luar biasa yang telah mencapai posisi top bukan karena kegigihan usaha-usahanya yang keras mulai dari bawah atau kecanggihannya sebagai pengusaha, melainkan karena kedekatan dengan centrum kekuasaan. Suapan-suapan para investor asing mengakibatkan tender yang tidak adil. Yang menang tender bukanlah mereka yang punya solusi paling baik dan paling murah, melainkan mereka yang menyuap paling banyak. Akibat daripada sistim tender semacam ini, Indonesia diikat dengan perjanjian tidak seimbang jangka panjang (30-40 tahun) dengan para investor tersebut yang sangat merugikan Indonesia (contoh tambang emas Freeport di Papua Barat).

Satu-satunya hal yang bisa dianggap ”positif” dari perkembangan ini adalah bahwa pada akhirnya Suharto terpaksa lengser. Walaupun Indonesia pada suatu periode tertentu dianggap sebagai salah satu ”macan-macan ekonomi Asia”, tapi sesungguhnya, sebagaimana kita telah lihat, kalau dibanding dengan negeri-negeri seperti Korea, Taiwan, Singapur atau Malaysia, perkembangan ekonomi di Indonesia jaman Orde Baru adalah perkembangan ekonomi yang semu. Akibatnya, ketika krismon (krisis moneter) meledak, Indonesia adalah negeri yang terkena krisis ekonomi paling parah dan paling susah untuk bangun kembali. Akibat perkembangan ekonomi semu itu masih terasa sampai sekarang. Dari krismon menjadi kristal (krisis total). Sementara para taipan beserta kroni-kroninya berpesta pora di Singapur, rakyat Indonesia semakin sengsara.

Saya rasa bukunya Adicondro ”Korupsi kepresidenan” patut dibaca oleh semua orang Indonesia, supaya kita semua mengerti mekanisme ”menanjaknya” ekonomi Orde Baru dan akhirnya kebangkrutannya.

2008-04-25

Sedikit cerita tentang PPI

PPI oh PPI

Oleh saya kebetulan terbaca email dari “sea gull” (Saurlin) yang kelihatannya tersebar luas. Karena saya dulu aktif di PPI, maka saya tergerak untuk memberikan sedikit informasi yang dicari oleh sdr Saurlin (ketua PPI den Haag). Kalau soal PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) sedikit menarik buat anda, silahkan baca emailnya Saurlin dan jawaban saya dibawah ini. Thx.

//Tahir

----- Original Message -----
From: sea gull
To: heri latief
Sent: Friday, April 18, 2008 2:15 PM
Subject: ppi oh ppi ....

kuputuskan menulis email ini, setelah agak gelisah, ada sesuatu yg salah dengan generasi pendiri dan penerus ppi ... tulisan ini sendiri mencari benang yang putus itu...kapan dimana dan oleh siapa ...dulu di indonesia, jika mendengar ppi, ingatan kembali ke sejarah kemasyuran-heroik para pejuang awal indonesia di luar negeri. peran politik kaum terpelajar untuk mengkampanyekan pembebasan indonesia dari penindasan. sebuah mega proyek mental tentang sebuah bangsa besar bernama indonesia. jejak itu kok sulit ditelusuri ya? yg ditemukan hanya sayup2 cerita yg tidak lengkap dari orang tua yang masih hidup, misalnya di Belanda. konon, kaum superior, ppi awal itu, dihabisi oleh 'hantu' tahun 1965, bagi saya masih hantu, karena kurang jelas. tinggalah sekarang saya, salah seorang ppi 'aneh' yg tidak punya pengetahuan tentang sejarah diri sendiri, sehingga tidak tahu mau ngapain lagi dengan organisasi saya ini. aku minta penjelasan dari mereka yg dulu aktif di ppi awal, sehingga kaum muda yg memimpin ppi saat ini tidak buta sejarah, dan mengerti peran apa yang harus dilakukan, supaya tidak hanya masuk kampus-terus pulang ke hostel, tidur.

salam,
saurlin, ppi kota den haag.
ps: mohon disebarluaskan kepada siapa saja mantan pengurus ppi .....

__________________________________________________

Salam kenal dik Saurlin,

Nama saya Tahir Pakuwibowo. Dalam email anda kepada sdr Heri Latief anda menulis "aku minta penjelasan dari mereka yg dulu aktif di ppi awal". Saya tidak merasa pasti apakah saya termasuk grup yang anda maksudkan sebagai orang yang "aktif di ppi awal". Tapi saya dulu aktif di PPI-Tjekoslowakia dan PPI se-Eropa pada dekade yang crucial, tahun 60:an.

Betapapun, saya akan mencoba membantu memberikan beberapa informasi yang saya ketahui tentang hal-hal yang merupakan pertanyaan bagi anda dan mungkin juga bagi banyak kawan-kawan dari generasi muda lainnya. Dalam email yang sama anda menulis: ” ada sesuatu yg salah dengan generasi pendiri dan penerus ppi ... tulisan ini sendiri mencari benang yang putus itu...kapan dimana dan oleh siapa ...”.

Saya rasa sulit sekali menjawab pertanyaan anda ”kapan dimana dan oleh siapa…” benang itu diputuskan? Walaupun pertanyaan ini menarik, tapi saya rasa tidak ada orang yang dengan sengaja secara aktif menetapkan, nah sekarang benang PPI ini akan saya putuskan? Tapi baiklah saya ceritakan sedikit pengalaman saya, mudah-mudahan sedikit membantu menjelaskan sebagian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia diluar-negeri.

Pada tahun-tahun 50:an dan 60:an pemerintah Indonesia mengirimkan banyak sekali mahasiswa-mahasiswa keluar-negeri untuk menuntut ilmu, kebanyakan dalam rangka apa yang dinamakan ”pertukaran budaya” (cultural exchange). Kekecualiannya adalah Jepang. Yang dikirim kesana pada waktu itu kebanyakan didasarkan pada pampasan perang. Mahasiswa Indonesia kita temui di hampir semua negeri, baik dinegeri-negeri blok sosialis maupun kapitalis. Tujuannya saya rasa jelas, yaitu untuk mempercepat proses modernisasi Indonesia dengan kader-kader intelektuil didikan dalam maupun luar negeri, kira-kira seperti zaman Meiji di Jepang.

Saya sendiri kebetulan dikirim ke Tjekoslowakia (nama negerinya waktu itu) untuk belajar ekonomi bersama satu grup terdiri dari 30 mahasiswa dari macam-macam jurusan. Ketika kami sampai di Tjekoslowakia pada akhir 1960, sudah terdapat satu struktur organisasi yang bernama PPI dan juga apa yang dinamakan Badan Koordinasi PPI se-Eropa. Ternyata PPI ini terdapat ditiap negeri baik di Eropa Timur maupun Eropa Barat. PPI adalah mesin organisasi yang mepunyai tradisi dan berjalan baik. Yang menjadi pertanda khas dari PPI zaman saya adalah semangat dan dedikasi anggauta-anggautanya untuk menuntut ilmu diluar-negeri dan kemudian pulang kembali ketanah air untuk mengabdikan diri kepada tanah-airnya yang masih muda dan baru saja bebas dari kolonialisme. Paling tidak begitulah kesan yang saya dapatkan.

Tapi perlu dicamkan bahwa perkembangan PPI yang sehat dan kuat waktu itu tidak terjadi dalam vacuum, melainkan merupakan bagian dan pencerminan dari apa yang terjadi ditanah air. Indonesia waktu itu berada dalam era pimpinan Presiden Sukarno, proklamator Kemerdekaan, yang mempunyai visi besar tentang masa depan negeri ini. Dirasakan ditulang-sumsum bahwa Indonesia sedang bergerak menuju kearah sesuatu yang besar. Jangan dilupakan bahwa Indonesia mendapat respek didunia ketiga, dan ini tentu saja menambah kebanggaan dan kepercayaan diri mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Eropa. Fenomena yang sama sebetulnya lebih banyak lagi dapat dikatakan mengenai PPI di Belanda pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Roda sejarah yang bergerak menjelang kemerdekaan Indonesia tak bisa tidak akan menggugah setiap hati nurani putera-puteri Indonesia dan pada gilirannya mempengaruhi perkembangan dan kehidupan PPI pada masa itu.

Pada masa saya masih mahasiswa, diselenggarakan seminar dan konferensi PPI se-Eropah tiap dua tahun sekali dan yang terakhir dilansir pada bulan Agustus 1965 di Bukarest, Rumania. Seminar dan konferensi ini selalu merupakan peristiwa besar buat semua PPI dan diikuti oleh puluhan mahasiswa Indonesia baik dari Eropa Timur maupun Eropa Barat. Bahwasanya PPI dianggap penting juga oleh pemerintah Indonesia waktu itu, diperlihatkan oleh kenyataan bahwa pemerintah mengirimkan Ruslan Abdul Gani ke Konferensi Bukarest sebagai peninjau. Sebuah foto dari peristiwa itu bisa dilihat disini: http://pakuwibowo.multiply.com/photos/album/39/Student_Years#15

Kira-kira sebulan sesudah Konferensi Bukarest, meletuslah peristiwa G30S yang sangat tragis ditanah air dan merupakan suatu shock luar biasa buat siapapun. Akibatnya, PPI-PPI di Eropah terpecah menjadi dua, kelompok penyokong Sukarno yang anti Suharto dan anti pembantaian serta kelompok kedua yang menyokong kediktaturan militer. Sekitar tahun 1967, anggauta-anggauta PPI-kiri yang tidak mau dipaksa sumpah setia kepada jenderal Suharto dicabut paspor dan kewarganegaraannya oleh KBRI sehingga mereka menjadi stateless. PPI-kiri tetap exist sampai permulaan tahun 70:an dan terus melakukan perlawanan terhadap kejahatan rezim Suharto. Tapi akhirnya tidak terdapat lagi "mahasiswa kiri" sebagai kelompok, karena sebagian besar sudah menyelesaikan studinya. Jadi PPI-kiri kehilangan ”raison d´ etré”nya dan karena itu bubar. Bagaimana dengan kelanjutan PPI kanan saya kurang mengetahui.

Apakah rezim Suharto mempunyai visi? Menurut Aditjondro dalam bukunya ”Korupsi Kepresidenan”, ”visi” mereka adalah ”Oligarki berkaki tiga”, yaitu Istana, Tangsi dan Partai (Golkar). Sebagaimana kita semua ketahui, inspirasi yang mereka bisa berikan adalah KKN, memperkaya diri dan penyalah gunaan kekuasaan. Apakah pemerintah sekarang mempunyai visi? Saya tidak melihatnya. Indonesia kelihatannya sedang mengalami krisis kepemimpinan. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia masa kini kelihatannya tidak punya sama banyak semangat dan dedikasi berbakti seperti rekan-rekannya dimasa-masa dulu. Yang dominasi sekarang sayangnya adalah semangat individualisme. Kenbanyakan mahasiswa Indonesia diluar-negeri ongkos-ongkos belajarnya tidak dibayar pemerintah, tapi hasil usaha sendiri atau diongkosi orang tuanya. Mudah-mudahan saya keliru dalam hal ini, tapi kelihatannya kurang ada prasyarat obyektif untuk PPI yang hidup. Kepada rekan-rekan mahasiswa generasi baru dan PPI baru saya hanya bisa anjurkan agar tidak putus asa, teruskan perjuangan untuk demokrasi serta masyarakat adil-makmur, bangkitkan semangat berbakti kepada tanah air dan Rakyat kecil. Good Luck!

//Tahir