2011-05-27

Tahun-tahun di Swedia

Tulisan ini pada mulanya saya masukkan disitus saya Multiply (http://pakuwibowo.multiply.com/)

Text dibawah ini didasarkan pada text perkenalan diri saya di milis ”Komunitas Indonesia di Swedia” (KIDS). Saya telah lakukan sedikit editing dan sedikit tambahan dari text originalnya.

Saya ingin pergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan sejemput pengalaman kerja saya di Swedia. Sekarang saya sedang menjalani hidup sebagai pensiunan di Swedia, dengan dompet tipis, tapi bisa hidup cukup layak. Tinggal bersama istri, Adeline, disebuah apartemen di Kista, pusat industri IT di Swedia atau apa yang dinamakan ”The Silicon Valley of Sweden”. Punya satu anak kelahiran Stockholm, Yanto, yang sudah ”utflugen” (punya apartemen sendiri dan punya kehidupan sendiri).

Saya mendapatkan Master saya dalam ekonomi tahun 1970 di Vysoka Skola Ekonomicka (The Prague School of Economics), Praha, Cekoslovakia (nama negeri waktu itu), sebuah sekolah dengan tradisi tua dan renomé yang tinggi. Dikirim sebagai mahasiswa ikatan dinas oleh pemerintahnya Sukarno. Karena itu saya termasuk apa yang dinamakan ex-mahid (ex mahasiswa ikatan dinas).

Bulan Mei 1973 kami pindah ke Swedia dan tinggal di Stockholm. Setelah mendapatkan permanent uppehållstillstånd (izin tinggal permanen), saya mulai kerja selama setahun sebagai kuli gudang (lagerarbetare). Kemudian ganti kerja sebagai supir bus SL dikota selama 12 tahun. Suatu perbaikan besar ketimbang pekerjaan sebelumnya.

Setelah itu beruntung diangkat menjadi sekretaris/trafficplanner di SL selama tiga tahun. Selain traffic-planning, disitu saya juga melakukan sedikit software maintenance/development serta mengurus soal-soal yang menyangkut computers. Akhirnya saya menjadi IT-Tekniker/IT-samordnare di SKAFAB (Stockholmsstads Afvallsförädling AB), yang setelah omorganisation (restructuring) berubah menjadi Renhållningsförvaltningen. Kegiatan utama kedua organisasi ini adalah waste management dan waste recycling. Selama lebih dari 15 tahun sampai pensiunan saya dalah IT-ansvarig (responsible dalam IT) untuk SKAFAB dan Renhållningsförvaltningen, ikut menyumbang dalam membangun dan memodernisir sistim IT mereka.

Walaupun pekerjaan-pekerjaan saya yang pertama di Swedia jauh tidak sesuai dengan kualifikasi yang pernah saya terima, tapi tokh saya merasa beruntung karena saya selama di Swedia tidak pernah menjadi tenaga penganggur seharipun juga. Oleh karena itu saya tidak pernah tergantung kepada ”socialbidrag” (tunjangan sosial), kecuali bulan-bulan permulaan sebelum mendapat izin tinggal/izin kerja. Selain itu, semua pekerjaan yang saya dapatkan adalah hasil perjuangan saya sendiri tanpa bantuan ”arbetsförmedlingen” (badan perantara kerja).

Post Scriptum

Setelah tulisan diatas dimasukkan di Multiply, serangkaian kejadian penting terjadi dalam hidup saya. Tanggal 27 November 2008, anak saya Yanto menikah dengan Neny Fitriani digedung City Hall di Stockholm. (lihat fotosnya di: http://www.flickr.com/photos/pakuwibowo/sets/72157610536331638/)

Tanggal 20 Agustus 2010 saya dan istri dikaruniai seorang cucu, Anthony (Anaknya Yanto dan Neny). Lihat fotosnya di: http://www.flickr.com/photos/pakuwibowo/sets/72157624949881970/).

Dan akhirnya tanggal 4 Februari 2011, istri tercinta Adeline meninggalkan kami untuk selama-lamanya dan dikebumikan dipemakaman ”Silverdals Griftegård” di Sollentuna, Stockholm.

2011-04-03

Masukan Tamu (Arya Warsitha)

In Memoriam

Junia Adeline Pakuwibowo

(1939-2011)


Bapak-bapak, ibu-ibu dan para sahabat sekalian ytc,

Sebagai salah seorang yang juga pernah belajar di Cekoslavakia, salah seorang ex-mahid bersama-sama dengan bung Tahir Pakuwibowo, Adeline dan banyak teman lain, dan atas nama teman-teman kami di Stockholm saya menyampaikan sepatah dua patah kata untuk melepas keberangkatan Adeline Pakuwibowo, teman kita yang tercinta, mendiang istrinya bung Tahir, meninggalkan kita untuk selama-lamanya, beristirahat dengan tenang dan damai disisi Tuhan Yang Maha Esa.

Saya kenal Adeline ketika mulai belajar di Praha. Adeline bersama bung Tahir adalah angkatan tahun 60-an yang mendapat beasiswa dikirim oleh pemerintah pimpinan mendiang Presiden Sukarno. Adeline dikirim mewakili daerah Nusa Tenggara Timur karena lusus SMA dengan hasil terbaik.

Adeline justru tidak lahir di Timor, tetapi di Cimahi, Jawa Barat, pada tanggal 29 juni 1939. Semasa hidupnya tiga kali Adeline mengalami trauma. Pertama ketika berumur 5 tahun, semasa pendudukan Jepang, bapaknya meninggal dunia karena dibunuh tentara Jepang. Tidak hanya itu saja,Adeline terpaksa mengungsi ke pedalaman bersama tantenya dan terpisah dari ibunya, itu terjadi ketika pendudukan kedua Belanda yang menjadikan Bandung sebagai lautan api. Ini trauma yang kedua.

Barulah setelah Belanda menyerahkan kembali kedaulatan Indonesia, kehidupan Adel mulai agak tenang. Bersama ibunya pindah dari Cimahi ke Kupang, ke Timor dan menamatkan sekolahnya hingga SMA.

Angkatannya Adeline termasuk Tahir, dll (semuanya 30 orang) memulai kehidupan di Ceko dengan belajar bahasa Ceko di Holesov. Setahun setelah belajar bahasa Adeline mulai kuliahnya di Sekolah Tinggi Ekonomi bersama bung Tahir. Setelah tamat Adeline mendapat titel Master of Social Sciences in Economic.

Selama studinya di Praha Adeline juga aktif di PPI dan ikut sebagai duta-budaya, memperkenalkan kebudayaan Indonesia dengan menyanyi dan menari. Dia juga aktif ikut mendiskusikan ajaran-ajaran bung Karno dan akhirnya telah terpilih sebagai bendahara Badan Pekerja Badan Koordinasi PPI-PPI se-Eropah yang waktu itu juga bung Tahir telah diangkat sebagai Ketuanya.

Setelah peristiwa 30 September, karena Adeline dengan teguh tetap mendukung mendiang Presiden Sukarno dan menentang orde baru yang dipimpin oleh Suharto, paspornya dicabut oleh KBRI Praha waktu itu, nasib yang sama menimpa juga para mahasiswa lainnya yang tetap teguh mendukung mendiang Presiden Sukarno. Ini traumanya yang ketiga.

Pada tanggal 22 Agustus 1968 Adeline menikah dengan bung Tahir Pakuwibowo, sehari sesudah pendudukan Ceko oleh tentara Rusia. Pendudukan Ceko oleh Rusia dan ketidak cocokkan dengan pemerintah baru menyebabkan mereka mengambil langkah untuk meminta asyl ke Swedia. Permintaan mereka dikabulkan dan sejak tahun 1973 mereka tinggal di Swedia dengan bahagia sampai Adeline meninggal tanggal 4 februari 2011. Sebelum meninggalnya Adeline telah dianugrahi seorang cucu Anthony Leonardo Pakuwibowo, yang dilahirkan dari perkawinan putranya Timur Tjahyanto Pakuwibowo dengan Neny.

Selamat jalan Adeline dan kami selalu akan mengenangmu.Beristirahatlah dengan tenang dan damai.

Terima kasih.

Arya Warsitha

2011-03-03

IN MEMORIAM ADELINE PAKUWIBOWO


(Sambutan suami pada penghormatan terakhir dan pemakaman Adel 25 februari 2011 di Stockholm)

Teman-teman yang tercinta,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan beribu terima kasih atas kehadiran kalian semua disini untuk bersama-sama memberikan penghormatan terakhir kepada Adel yang tercinta. Setelah Adel meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya, saya merasakan kehilangan yang sangat besar. Dihati ini menganga sebuah luka yang besar penuh kepedihan. Dada ini merasa hampa dan sepi. Adel dan saya telah hidup bersama selama lebih dari 42 tahun, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesusahan sampai kematian memisahkan kami. Dia adalah seorang istri yang setia yang selalu berada disisi suaminya dalam segala situasi. Hidup kami sudah saling jalin-menjalin menjadi satu, tak terpisahkan lagi. Dengan perginya Adel, pribadi saya tidak lagi terasa lengkap, hanya tinggal separo saja.

Kami menikah di Praha, Cekoslovakia, pada tanggal 22 Agustus 1968 dalam situasi yang sangat dramatis, karena sehari sebelum hari pernikahan, tentara Sovyet dan pakta Warsawa masuk dan mengokupasi Cekoslovakia untuk menghindarkan bangkitnya apa yang dinamakan” Sosialisme dengan wajah manusiawi.” Di Praha, pada hari pernikahan kami, tank-tank tentara Sovyet yang menakutkan terlihat dimana-mana. Untunglah akhirnya pernikahan kami dapat dilaksanakan juga sesuai dengan waktu yang telah lama direncanakan sebelumnya, walaupun secara darurat dan serba sederhana, tanpa pesta perkawinan. Barangkali peristiwa ini justru semakin mempererat jalinan jiwa kami berdua.

Adel adalah seorang perempuan yang kuat mentalnya, intelligent, mandiri, berpendirian teguh, sensitif, serta mempunyai perasaan mendalam untuk melawan ketidak-adilan didunia ini. Karena itu Adel tanpa memikirkan risiko, berdiri dipihak yang melawan ORBAnya Jendral Suharto yang telah merenggut kekuasaan dari bung Karno dengan kekerasan dan tangan yang bergelimang darah.

Walaupun adanya turbulens luar biasa dalam hidup kami dengan mengamuknya tragedi Nasional di Tanah Air pada masa kami sedang belajar, serta kegiatan perjuangan melalui PPI melawan ORBA, Adel tokh akhirnya berhasil meyelesaikan studinya dengan baik dan mendapatkan titel ”Master of Social Sciences”. Ini bukanlah sesuatu hal yang mudah. Saya sebut tadi bahwa Adel adalah seorang perempuan yang intelligent. Ketika dia lulus SMA, dia keluar sebagai siswa terbaik diseluruh NTT (Nusa Tenggara Timur). Oleh karena itulah dia diberi oleh pemerintah Sukarno beasiswa untuk belajar di Cekoslovakia sebagai wakil daerah.

Setelah pindah ke Swedia, dia mendapatkan kesempatan untuk bekerja menangani soal-soal perpajakan perusahaan. Sejak saat itu sampai hari pensiunnya, walaupun adanya berbagai proses reorganisasi ditempat kerjanya, Adel tidak pernah dilepaskan oleh Jawatan Perpajakan sebagai pegawainya. Oleh sebab itu, dalam karier kerjanya di Swedia, dia tidak pernah satu haripun mengalami pengangguran. Tahun 1975, merupakan salah satu tahun kebahagiaan kami berdua yang terbesar ketika Adel melahirkan putra kami satu-satunya, Yanto, disamping pernikahan Yanto dengan Neny pada tahun 2008 dan dikaruniainya kami dengan seorang cucu kebanggaan, Anthony, pada bulan Agustus 2010.

Adel senang sekali memasak. Dia mengumpulkan ribuan resep makanan dari segala macam sumber, dari buku-buku, dari majalah-majalah dan dari internet. Kue-kue bikinannya sangat populer diantara teman-teman sekerjanya. Di TV dia paling senang melihat program-program tentang masak memasak. Sejak kecil Adel senang membaca buku, yang tentunya sangat membantu studi dan pekerjaannya. Kecuali itu dia mencintai musik pula. Musik populer Indonesia yang indah dari tahun limapuluhan, musik klasik Barat serta musik pop Barat yang tertentu. Artist yang paling dia cintai adalah Eva Cassidy, mengapa beberapa lagunya kita dengarkan disini. Ironisnya, Eva Cassidy meninggal dunia karena juga terserang oleh penyakit kanker.

Penyakit kanker paru-paru Adel ditemukan oleh para dokter baru pada permulaan November 2010 ketika nyatanya sudah terlambat. Sesudah itu perkembangan penyakitnya berjalan cepat sekali. Dia keluar masuk Rumah Sakit berkali-kali, tapi para dokter tokh tidak bisa menolongnya lagi. Adel adalah seorang fighter. Dia berjuang dengan gigih melawan penyakitnya, tetapi ternyata kanker jahat itu jauh lebih berkuasa daripada badan Adel yang semakin melemah. Pada tanggal 4 Februari 2011, didepan mata saya yang sedih dan shocked, Adel menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia meninggalkan kita untuk selama-lamanya dengan tenang di Rumah Sakit Bromma, di Stockholm.

Dalam kesempatan ini saya ingin dengan rendah hati memohonkan maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan kekurangan Adel semasa hidupnya. Tak ada gading yang tak retak, kata pepatah. Dan kami sekeluarga, saya, Yanto, Neny dan Anthony, seluruh keluarga Pakuwibowo, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas semua pernyataan simpati serta solidaritas dari teman-teman semua. Selamat jalan Adelku yang tersayang dan istirahatlah dengan damai.

2008-07-28

Resensi Buku "Princess"


PRINCESS – sebuah resensi

Oleh: Tahir Pakuwibowo



Tanggal 1 Agustus 1990, Riyadh (ibukota Saudi Arabia) digemparkan oleh sebuah berita, bahwa Saddam Hussein telah mengirimkan pasukan-pasukannya untuk melakukan invasi militer kilat di Kuwait. Penguasa Saudi Arabia menguatirkan bahwa Iraq akan menyantap dua makanan sekaligus (Kuwait dan Saudi Arabia).

Ribuan pengungsi dari Kuwait mengalir ke Saudi. Penduduk Saudi menaruh simpati besar kepada pelarian dari negeri saudara dan tetangganya. Kaum perempuan Saudi, disamping rasa simpati, juga sekaligus merasa sangat iri hati kepada saudara-saudara perempuannya dari Kuwait yang datang tanpa kerudung sambil menyetir mobil pula!!! Kebebasan semacam itu hanya sekedar merupakan mimpi disiang bolong bagi perempuan Saudi.

Akibat ancaman dari Iraq, penguasa Saudi akhirnya membolehkan penempatan pasukan-pasukan kafir (USA) ditanah sucinya Islam ini. Kaum perempuan Saudi ternganga mulutnya melihat serdadu-serdau perempuan Amerika bergerak bebas kesana kemari tanpa kawalan orang laki. Mereka sendiri tidak boleh sama sekali bekerja diluar lingkungan rumahnya dan tidak boleh keluar rumah sendirian tanpa ada pengawal laki-lakinya. Kalau mereka mau bepergian keluar-negeri, mereka harus membawa selain paspor, juga surat izin dari suaminya atau ayahnya.

Cerita semacam ini dan banyak lagi lainnya ditulis dalam Princess, sebuah roman autobiography seorang puteri istana dari klan Al Saud yang bernama Sultana (nama samaran), sebagaimana diceriterkannya kepada penulis Amerika sahabatnya Jean P. Sasson. Jean sendiri tinggal di Saudi Arabia sejak 1978. Saya membaca versi Inggerisnya, tetapi saya dengar ada versi Indonesianya juga.

Ada beberapa keuntungan membaca Princess. Dengan buku ini kita bisa melihat dan mempelajari dari dalam, kehidupan dinegeri Saudi Arabia, terutama tragedi kaum perempuannya. Walaupun isinya serius, tapi karena diuraikan dalam bentuk roman yang spannend dan penuh dramatik dan lagi dalam satu struktur yang bagus, buku ini enak dibacanya. Ketika saya masih kecil, saya pernah dengar pepatah ”lain padang, lain belalang”. Saya mengertikannya sebagai ”lain negeri, lain adatnya”. Karena saya sendiri asal Madura/Jawa, soal-soal adat di Padang, Batak, Sulawesi, Kalimantan dll. selalu menarik bagi saya.

Dengan sendirinya mempelajari adat Saudi Arabia, negeri suci Islam, lebih menarik lagi, sungguh execeptionil menarik. Namun sudah bisa saya katakan dari permulaan, membaca Princess bagi saya merupakan juga suatu ”shocking experience”. Mulut saya ternganga membaca bagaimana kaum laki-laki Saudi memperlakukan kaum perempuannya. Di Indonesiapun belum tercapai persamaan antar gender, tapi kalau dibanding dengan perempuan Saudi, maka perempuan Indonesia masih boleh merasa beruntung atas kedudukannya. Baiklah saya coba menyuguhkan beberapa cuplikan kesimpulan dari isi buku Princess.

Perkawinan

Di Saudi berlaku hukum Syari’ah. Orang laki-laki diperbolehkan menurut hukum mepunyai empat isteri, hal mana sudah diketahui umum dan tidak menggemparkan lagi. Tapi soalnya yang spesifik buat Saudi Arabia, bukannya sekedar diizinkan secara hukum, melainkan dipraktekkan sangat luas, terutama dikalangan keluarga istana yang bergelimang dengan petro-dollar. Kecuali itu telah diterima secara sosial (socially accepted) bahwa para sheiks dan pangeran-pangeran mempunyai puluhan selir selain keempat isterinya offisiilnya, bahwa mereka tiga empat kali setahun pergi ke Thailand atau Filipina untuk belanja seks.

Saudi Arabia adalah suatu negeri super patrialkal. Disini laki-laki yang kuasa, laki-laki yang punya suara, kaum perempuan tidak ada harganya sama sekali kecuali sebagi obyek seks serta wadah untuk melahiran anak-anak ketrurunan, dan karena itu harus tutup mulut. Perempuan tidak punya hak memilih calon suaminya, itu adalah hak prerogatif laki-laki, ayahnya. Dan hebatnya lagi, sang ayah cepat-cepat mencarikan calon suami bagi anak perempuannya, segera setelah sang gadis untuk pertama kalinya mendapatkan mens. Ini bisa berarti bahwa gadis-gadis umur 13, 14, 15 tahunan dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat bagi kakek-kakek diatas 60 tahun! Sang ayah tidak perduli apakah suami gadis ciliknya itu pendek, bulat, jelek dan brutal (juga brutal secara seksuil). Yang penting sang menantu adalah seorang kaya atau bangsawan, dan bisa meluaskan social network yang penting bagi sang ayah. Ini bukan suatu hal yang tidak biasa di Saudi Arabia. Kalau dinegeri lain pasti dianggap sebagai pedofili yang menjijikkan, tapi di Saudi normal-normal saja.

Kehormatan keluarga dan ”Kamar perempuan”

Masyarakat Saudi menjungjung tinggi kehormatan keluarga. Tapi yang dianggap bisa merusak nama baik keluarga kebanyakan adalah perempuan. Perempuan dianggap sumber segala musibah didunia. Seorang Ibu selalu merasa ketakutan kalau tidak melahirkan anak laki-laki, yang selalu diagung-agungkan dalam keluarga Saudi.

Kalau terjadi persoalaan perzinahan, maka yang salah pasti yang perempuan dan harus dihukum keras. Pihak laki-lakinya selalu lepas dari tanggung jawab. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang perempuan yang dituduh berzinah telah masuk rumah sakit karena harus melahirkan. Kamarnya dijaga pulisi supaya dia tidak bisa lari. Begitu selesai melahirkan datang beberapa mutawa dan mengangkutnya ketempat hukuman. Mutawa adalah orang-orang agamis yang berfungsi sebagai pulisi moral atau pulisi agama dan sangat ditakuti, juga oleh pangeran-pangeran Al Saud. Ditempat hukuman, sang wanita yang dianggap berzinah dan baru melahirkan itu dilempari batu selama dua jam sampai dia mati. Ini terjadi diabad keduapuluh!

Di Saudi Arabia, seorang ayah bisa menjatuhkan hukuman mati kepada anaknya yang dianggap telah melakukan ”perbuatan yang tidak pantas” dan karena itu menodai kehormatan keluarga. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang gadis yang ketahuan pacar-pacaran dengan beberapa anak muda telah dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya dengan cara menenggelamkannya di kolam renang di villanya atau istananya didepan mata seluruh keluarga besar sang ayah (empat istri dan anak-anaknya yang segerobak). Kejadian kejam demikian tidak ada yang memprotes. Sebaliknya sang ayah mendapatkan pujian dari para ulama dan mutawa karena dia telah ”menjunjung tinggi moral bangsa”.

Suatu bentuk hukuman lain yang juga menyeramkan dan barangkali bahkan paling menyeramkan ialah apa yang dinamakan ”kamar perempuan” (The Woman Room). Seorang gadis waktu belajar di London jatuh cinta kepada seorang pemuda katolik Amerika dan lari dengan dia ke USA. Tapi dia akhirnya bisa dibujuk pulang ke Saudi. Sesampainya kembali dinegeri kelahirannya, pamannya memutuskan untuk menghukumnya dengan ”kamar perempuan”. Ayah gadis itu sudah meninggal, dan kekuasaan atas diri si gadis jatuh automatis ketangan pamannya yang kejam. Sang paman menyuruh para pekerja bangunan menemboki jendela-jendela disalah satu kamar divillanya, mengganti pintu kamar dengan pintu yang tahan suara dan hanya ada lubang kecil untuk menyodorkan sepiring makanan dan segelas minuman. Sang gadis dijebloskan kedalam kamar gelap itu oleh pamannya untuk seumur hidup, tanpa chans untuk keluar! Dia dibiarkan membusuk, menjadi gila dan mati pelan-pelan dalam isolasi total!

Tenaga Kerja Wanita Asing

Kalau ada yang lebih rendah derajadnya dari kaum perempuan Saudi, maka itu adalah kaum tenaga kerja wanita asing. Saudi Arabia yang kaya raya selalu menjadi magnet buat pekerja-pekerja asing. Ayah Sultana sendiri mempunyai puluhan babu, jongos, tukang masak, pekerja kebun dsb. Ayah Sultana punya empat istana diempat kota di Saudi. Semua istananya mesti sama persis, besarnya, bentuknya, perabotannya dsb. Kalau mereka pergi berkunjung kesalah satu kota itu dengan pesawat Lear Jet pribadinya (dengan pilot-pilot kafir Amerika), maka mereka tidak perlu bawa koper, karena diistana yang berikutnya sudah ada segala sesuatunya yang persis sama seperti ”dirumah”, pakaian, handduk, buku-buku, mainan anak-anak, pring-piring, sampai-sampai mobil-mobil Mercedes atau Jaguarnya. Kalau mereka beli sesuatu, mereka selalu beli empat exemplar yang persis sama, untuk ditaruh diempat istananya masing-masing.

Sultana menceritakan bahwa pekerja-pekerja asing yang memberikan service dikeluarganya diperlakukan secara fair. Mereka datang dari segala penjara dunia, Mesir, Sudan, India, Pakistan dan Filipina. Indonesia tidak disebut-sebut sama sekali dalam buku itu. Barangkali waktu itu belum umum. Tapi tidak semua pekerja asing diperlakukan secara baik di Saudi seperti halnya ditempat keluarga Sultana. Salah satu babunya Sultana dari Filipina yang bernama Marci, menceritakan riwayat yang mengenaskan dari teman sekampungnya. Temannya itu rupanya diimport ke Saudi Arabia bukan hanya sebagai babu biasa, tetapi juga sekaligus sebagai hamba sex (sex slave). Dalam kontraknya tidak tertulis tentang hal itu, tapi dia diperkosa beberpa kali setiap hari oleh sang ayah dan dua anak laki-lakinya dikeluarga itu. Si babu Filipina itu tidak berani melapor kepada pulisi, karena dia tahu bahwa pulisi akan selalu menganggap tuan rumah Saudinya yang benar dan mereka sama sekali tidak perduli terhadap nasibnya seorang babu Filipina.

Masyarakat Saudi

Karena kekayaan yang datang tiba-tiba berkat minyaknya, menurut Sultana, orang-orang Saudi itu tidak mempunyai motivasi untuk kerja keras. Terutama para pengeran dan sheik-sheik yang bergelimang dengan petro dollar, mereka merasa bosan dengan hidup sehari-harinya. Semuanya sudah tersedia tanpa mereka perlu bikin sesuatu. Pemeliharaan kesehatan gratis untuk semua, begitu juga pendidikan. Hal ini menyebabkan mereka pada mencari sensasi dengan perempuan, alkohol dan narkoba.

Walaupun disatu pihak masyarakat Saudi kelihatannya sangat teramat puritan dan konservatif, dengan para mutawa (polisi moral atau agama) yang selalu memasang mata elangnya, (tertuama terhadap kaum perempuan), namun dilain pihak orang-orang pada secara diam-diam dibelakang layar minum alkohol dan menggunakan narkoba. Kalau mereka tidak bisa melakukan segalanya itu didalam negeri, meraka terbang ke Eropa atau tempat lain untuk melampiaskan nafsunya. Para pangeran itu sebetulnya benci kepada para mutawa. Ini menunjukkan dichotomi yang menyolok dalam masyarakat Saudi, yang pada saatnya nanti akan membawa keruntuhannya, apalagi kalau sumber minyaknya mulai susut. Saudi Arabia adalah negeri auktoriter yang tertutup dan sangat tidak harmonis, penuh dengan konflikt dan kemunafikan.

Bayangkan, Saudi Arabia itu sudah cukup lama punya banyak dollar, tapi kita tidak pernah dengar tentang ”economic miracle” dinegeri itu, seperti halnya kita mendengar tentang Cina. Memang gedung-gedung pencakar langit yang indah tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Tapi tampaknya tidak ada kemajuan ekonomi yang sejati. Di Indonesia ada kelompok-kelompok yang ingin meniru-niru segi konservatif dari Saudi Arabia. Saya percaya bahwa teman-teman pernah baca tentang satu kejadian di Jawa Barat, dimana seorang Ibu yang habis pulang kerja sore-sore dan sedang menunggu bus, ditangkap oleh orang-orang yang sok-sokan meniru para mutawa di Saudi karena Ibu tsb. dianggap berkelakuan ”tidak pantas”. Apa-apaan sih ini? Kepada saudara-saudara perempuan Indonesia saya ingin bertanya, apakah kalian mau Indonesia dijadikan suatu negeri gelap seperti Saudi Arabia yang melecehi kaum perempuan?



2008-04-30

Aditjondro

RESENSI BUKU

ADITJONDRO: KORUPSI KEPRESIDENAN

Oleh: Tahir Pakuwibowo

George Junus Aditjondro, pria kelahiran Pekalongan ini, terpaksa meninggalkan Indonesia pada tahun 1995 dan hijrah ke Australia karena kritik-kritiknya yang pedas terhadap invasi Indonesia di Timor Leste. Sebagai wakil direktur eksekutif Walhi, dia pernah pada tahun 1987 menerima dari Suharto penghargaan Kalpataru karena jasa-jasanya dilapangan riset lingkungan hidup. Tapi 10 tahun kemudian penghargaan ini dia kembalikan sebagai protes terhadap berbahagai pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia dan diberbagai tempat didunia.

Aditjondro telah menuntut berbagai pendidikan akademis di Makassar, Salatiga, Semarang dan mengambil doktoratnya di New York (Cornell University). Sejak Januari 1996 menjadi lektor jurusan sosiologi dan antropologi di Universitas New Castle, Australia. Disini pula dia mengembangkan mata kuliah Sosiologi Korupsi dan meneliti korupsi yang dilakukan oleh rezim Suharto.

Dalam bukunya ”Korupsi Kepresidenan” Aditjondro berhasil mengumpulkan sejumlah besar material yang menunjukkan betapa luasnya korupsi dan mendalamnya budaya korupsi yang dikembangkan selama masa Orde Baru. Aditjondro mengupas praktek-praktek korupsi terutama pada zaman kepresidenan Suharto, tapi juga setelah Suharto jatuh 1998, berturut-turut semasa kepresidenan Habibi, Gus Dur dan Megawati. Menurut Adicondro, Habibi itu sama korupnya seperti Suharto. Gus Dur tidak korup tapi menjalankan praktek-praktek KKN tertentu yang menguntungkan konco-konco separtainya. Soal Megawati berputar terutama pada sumbu praktek-praktek bisnis suaminya, Taufiq Kiemas yang tidak selalu bersih.

Korupsi Suharto itu mempunyai struktur yang jelas. Ia ditegakkan diatas tiga kaki, istana, tangsi dan partai penguasa. Ketiga kaki itu saling mendukung satu sama lain dan saling sama-sama meberikan keuntungan melalui KKN (Kolusi. Korupsi dan Nepotisme), sehingga sulit dirubuhkan. Akibat KKN dalam ketiga kaki oligarki itu Suharto beserta kroni-kroninya, terutama anak-anaknya serta anggauta-anggauta keluarganya yang lain, berhasil membangun suatu imperium ekonomi yang luar biasa, yang secara geografis menjangkau Afrika, Asia, Amerika Latin (Suriname) dan Eropah. Tapi itu semua sama sekali bukan untuk kepentingan nasional dan rakyat Indonesia melainkan untuk kepetingan kerakusan mereka sendiri.

Beberapa metode busuk yang dipakai untuk memperkaya diri: pemberian hak monopoli tertentu kepada anak-anak Suharto, umpamanya monopoli import cengkeh dari Afrika. Pendirian ”yayasan-yayasan” dengan kedok ”bantuan kepada rakyat kecil”, padahal sebenarnya dibelakangnya adalah bisnis besar tanpa bayar pajak. Banyak ”yayasan” ini diketuai oleh Suharto sendiri. Sistim pembukuannya selalu gelap dan tidak transparent. Ada satu grup yayasan Indonesia yang kekayaannya lebih besar dari grup yayasan terkaya di USA.

Investor-investor multinasional mengerti bahwa supaya mereka bisa melakukan investasi modal yang lukratif di Indonesia, mereka harus meberikan sekian persen dari saham perusahaannya kepada salah satu anak Suharto. Ini selain bentuk-bentuk suapan lainnya. Metode selanjutnya adalah pemakaian peralatan-peralatan negara untuk keperluan bisnis pribadi anak-anaknya Suharto, umpamanya pengangkutan sapi-sapi dari Australia ke ranchnya Tommy Suharto di Jawa Barat dengan kapal-kapal pengangkut milik Angkatan Laut.

Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada KKN ini menumbuhkan kapitalis-kapitalis kaya raya luar biasa yang telah mencapai posisi top bukan karena kegigihan usaha-usahanya yang keras mulai dari bawah atau kecanggihannya sebagai pengusaha, melainkan karena kedekatan dengan centrum kekuasaan. Suapan-suapan para investor asing mengakibatkan tender yang tidak adil. Yang menang tender bukanlah mereka yang punya solusi paling baik dan paling murah, melainkan mereka yang menyuap paling banyak. Akibat daripada sistim tender semacam ini, Indonesia diikat dengan perjanjian tidak seimbang jangka panjang (30-40 tahun) dengan para investor tersebut yang sangat merugikan Indonesia (contoh tambang emas Freeport di Papua Barat).

Satu-satunya hal yang bisa dianggap ”positif” dari perkembangan ini adalah bahwa pada akhirnya Suharto terpaksa lengser. Walaupun Indonesia pada suatu periode tertentu dianggap sebagai salah satu ”macan-macan ekonomi Asia”, tapi sesungguhnya, sebagaimana kita telah lihat, kalau dibanding dengan negeri-negeri seperti Korea, Taiwan, Singapur atau Malaysia, perkembangan ekonomi di Indonesia jaman Orde Baru adalah perkembangan ekonomi yang semu. Akibatnya, ketika krismon (krisis moneter) meledak, Indonesia adalah negeri yang terkena krisis ekonomi paling parah dan paling susah untuk bangun kembali. Akibat perkembangan ekonomi semu itu masih terasa sampai sekarang. Dari krismon menjadi kristal (krisis total). Sementara para taipan beserta kroni-kroninya berpesta pora di Singapur, rakyat Indonesia semakin sengsara.

Saya rasa bukunya Adicondro ”Korupsi kepresidenan” patut dibaca oleh semua orang Indonesia, supaya kita semua mengerti mekanisme ”menanjaknya” ekonomi Orde Baru dan akhirnya kebangkrutannya.

2008-04-25

Sedikit cerita tentang PPI

PPI oh PPI

Oleh saya kebetulan terbaca email dari “sea gull” (Saurlin) yang kelihatannya tersebar luas. Karena saya dulu aktif di PPI, maka saya tergerak untuk memberikan sedikit informasi yang dicari oleh sdr Saurlin (ketua PPI den Haag). Kalau soal PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) sedikit menarik buat anda, silahkan baca emailnya Saurlin dan jawaban saya dibawah ini. Thx.

//Tahir

----- Original Message -----
From: sea gull
To: heri latief
Sent: Friday, April 18, 2008 2:15 PM
Subject: ppi oh ppi ....

kuputuskan menulis email ini, setelah agak gelisah, ada sesuatu yg salah dengan generasi pendiri dan penerus ppi ... tulisan ini sendiri mencari benang yang putus itu...kapan dimana dan oleh siapa ...dulu di indonesia, jika mendengar ppi, ingatan kembali ke sejarah kemasyuran-heroik para pejuang awal indonesia di luar negeri. peran politik kaum terpelajar untuk mengkampanyekan pembebasan indonesia dari penindasan. sebuah mega proyek mental tentang sebuah bangsa besar bernama indonesia. jejak itu kok sulit ditelusuri ya? yg ditemukan hanya sayup2 cerita yg tidak lengkap dari orang tua yang masih hidup, misalnya di Belanda. konon, kaum superior, ppi awal itu, dihabisi oleh 'hantu' tahun 1965, bagi saya masih hantu, karena kurang jelas. tinggalah sekarang saya, salah seorang ppi 'aneh' yg tidak punya pengetahuan tentang sejarah diri sendiri, sehingga tidak tahu mau ngapain lagi dengan organisasi saya ini. aku minta penjelasan dari mereka yg dulu aktif di ppi awal, sehingga kaum muda yg memimpin ppi saat ini tidak buta sejarah, dan mengerti peran apa yang harus dilakukan, supaya tidak hanya masuk kampus-terus pulang ke hostel, tidur.

salam,
saurlin, ppi kota den haag.
ps: mohon disebarluaskan kepada siapa saja mantan pengurus ppi .....

__________________________________________________

Salam kenal dik Saurlin,

Nama saya Tahir Pakuwibowo. Dalam email anda kepada sdr Heri Latief anda menulis "aku minta penjelasan dari mereka yg dulu aktif di ppi awal". Saya tidak merasa pasti apakah saya termasuk grup yang anda maksudkan sebagai orang yang "aktif di ppi awal". Tapi saya dulu aktif di PPI-Tjekoslowakia dan PPI se-Eropa pada dekade yang crucial, tahun 60:an.

Betapapun, saya akan mencoba membantu memberikan beberapa informasi yang saya ketahui tentang hal-hal yang merupakan pertanyaan bagi anda dan mungkin juga bagi banyak kawan-kawan dari generasi muda lainnya. Dalam email yang sama anda menulis: ” ada sesuatu yg salah dengan generasi pendiri dan penerus ppi ... tulisan ini sendiri mencari benang yang putus itu...kapan dimana dan oleh siapa ...”.

Saya rasa sulit sekali menjawab pertanyaan anda ”kapan dimana dan oleh siapa…” benang itu diputuskan? Walaupun pertanyaan ini menarik, tapi saya rasa tidak ada orang yang dengan sengaja secara aktif menetapkan, nah sekarang benang PPI ini akan saya putuskan? Tapi baiklah saya ceritakan sedikit pengalaman saya, mudah-mudahan sedikit membantu menjelaskan sebagian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia diluar-negeri.

Pada tahun-tahun 50:an dan 60:an pemerintah Indonesia mengirimkan banyak sekali mahasiswa-mahasiswa keluar-negeri untuk menuntut ilmu, kebanyakan dalam rangka apa yang dinamakan ”pertukaran budaya” (cultural exchange). Kekecualiannya adalah Jepang. Yang dikirim kesana pada waktu itu kebanyakan didasarkan pada pampasan perang. Mahasiswa Indonesia kita temui di hampir semua negeri, baik dinegeri-negeri blok sosialis maupun kapitalis. Tujuannya saya rasa jelas, yaitu untuk mempercepat proses modernisasi Indonesia dengan kader-kader intelektuil didikan dalam maupun luar negeri, kira-kira seperti zaman Meiji di Jepang.

Saya sendiri kebetulan dikirim ke Tjekoslowakia (nama negerinya waktu itu) untuk belajar ekonomi bersama satu grup terdiri dari 30 mahasiswa dari macam-macam jurusan. Ketika kami sampai di Tjekoslowakia pada akhir 1960, sudah terdapat satu struktur organisasi yang bernama PPI dan juga apa yang dinamakan Badan Koordinasi PPI se-Eropa. Ternyata PPI ini terdapat ditiap negeri baik di Eropa Timur maupun Eropa Barat. PPI adalah mesin organisasi yang mepunyai tradisi dan berjalan baik. Yang menjadi pertanda khas dari PPI zaman saya adalah semangat dan dedikasi anggauta-anggautanya untuk menuntut ilmu diluar-negeri dan kemudian pulang kembali ketanah air untuk mengabdikan diri kepada tanah-airnya yang masih muda dan baru saja bebas dari kolonialisme. Paling tidak begitulah kesan yang saya dapatkan.

Tapi perlu dicamkan bahwa perkembangan PPI yang sehat dan kuat waktu itu tidak terjadi dalam vacuum, melainkan merupakan bagian dan pencerminan dari apa yang terjadi ditanah air. Indonesia waktu itu berada dalam era pimpinan Presiden Sukarno, proklamator Kemerdekaan, yang mempunyai visi besar tentang masa depan negeri ini. Dirasakan ditulang-sumsum bahwa Indonesia sedang bergerak menuju kearah sesuatu yang besar. Jangan dilupakan bahwa Indonesia mendapat respek didunia ketiga, dan ini tentu saja menambah kebanggaan dan kepercayaan diri mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Eropa. Fenomena yang sama sebetulnya lebih banyak lagi dapat dikatakan mengenai PPI di Belanda pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Roda sejarah yang bergerak menjelang kemerdekaan Indonesia tak bisa tidak akan menggugah setiap hati nurani putera-puteri Indonesia dan pada gilirannya mempengaruhi perkembangan dan kehidupan PPI pada masa itu.

Pada masa saya masih mahasiswa, diselenggarakan seminar dan konferensi PPI se-Eropah tiap dua tahun sekali dan yang terakhir dilansir pada bulan Agustus 1965 di Bukarest, Rumania. Seminar dan konferensi ini selalu merupakan peristiwa besar buat semua PPI dan diikuti oleh puluhan mahasiswa Indonesia baik dari Eropa Timur maupun Eropa Barat. Bahwasanya PPI dianggap penting juga oleh pemerintah Indonesia waktu itu, diperlihatkan oleh kenyataan bahwa pemerintah mengirimkan Ruslan Abdul Gani ke Konferensi Bukarest sebagai peninjau. Sebuah foto dari peristiwa itu bisa dilihat disini: http://pakuwibowo.multiply.com/photos/album/39/Student_Years#15

Kira-kira sebulan sesudah Konferensi Bukarest, meletuslah peristiwa G30S yang sangat tragis ditanah air dan merupakan suatu shock luar biasa buat siapapun. Akibatnya, PPI-PPI di Eropah terpecah menjadi dua, kelompok penyokong Sukarno yang anti Suharto dan anti pembantaian serta kelompok kedua yang menyokong kediktaturan militer. Sekitar tahun 1967, anggauta-anggauta PPI-kiri yang tidak mau dipaksa sumpah setia kepada jenderal Suharto dicabut paspor dan kewarganegaraannya oleh KBRI sehingga mereka menjadi stateless. PPI-kiri tetap exist sampai permulaan tahun 70:an dan terus melakukan perlawanan terhadap kejahatan rezim Suharto. Tapi akhirnya tidak terdapat lagi "mahasiswa kiri" sebagai kelompok, karena sebagian besar sudah menyelesaikan studinya. Jadi PPI-kiri kehilangan ”raison d´ etré”nya dan karena itu bubar. Bagaimana dengan kelanjutan PPI kanan saya kurang mengetahui.

Apakah rezim Suharto mempunyai visi? Menurut Aditjondro dalam bukunya ”Korupsi Kepresidenan”, ”visi” mereka adalah ”Oligarki berkaki tiga”, yaitu Istana, Tangsi dan Partai (Golkar). Sebagaimana kita semua ketahui, inspirasi yang mereka bisa berikan adalah KKN, memperkaya diri dan penyalah gunaan kekuasaan. Apakah pemerintah sekarang mempunyai visi? Saya tidak melihatnya. Indonesia kelihatannya sedang mengalami krisis kepemimpinan. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia masa kini kelihatannya tidak punya sama banyak semangat dan dedikasi berbakti seperti rekan-rekannya dimasa-masa dulu. Yang dominasi sekarang sayangnya adalah semangat individualisme. Kenbanyakan mahasiswa Indonesia diluar-negeri ongkos-ongkos belajarnya tidak dibayar pemerintah, tapi hasil usaha sendiri atau diongkosi orang tuanya. Mudah-mudahan saya keliru dalam hal ini, tapi kelihatannya kurang ada prasyarat obyektif untuk PPI yang hidup. Kepada rekan-rekan mahasiswa generasi baru dan PPI baru saya hanya bisa anjurkan agar tidak putus asa, teruskan perjuangan untuk demokrasi serta masyarakat adil-makmur, bangkitkan semangat berbakti kepada tanah air dan Rakyat kecil. Good Luck!

//Tahir

2007-11-26

The Shock Doctrine

Ini adalah terjemahan saya dari resensi bukunya Naomi Klein ”The Shock Doctrine”. Resensinya dimuat dalam harian ”Dagens Nyheter” tanggal 27 Oktober 2007 dan ditulis oleh Ulrika Kärnborg.

Tahir

________________________________

Sabtu 27 Oktober 2007 DN

________________________________

RESENSI BUKUSABTU

”No Logo” telah mendapatkan pengikutnya yang tebal. ”Doktrin-doktrin shock”nya reporter Kanada Naomi Klein adalah sebuah buku seram tentang kapitalisme rampok masa kini. Ulrika Kärnborg mebaca suatu karya matang yang berusaha untuk mejelaskan masa yang sedang kita jalani sekarang.

MEMBIKIN SHOCK DAN RAMPOK

Buku-buku

NAOMI KLEIN

”DOKTRIN-DOKTRIN SHOCK”
Tembusan Kapitalisme Katastrofi
Terjemahan Henrik Gundernås dan Stefan Lindgren

ORDFRONT FÖRLAG


Sebagai skribent utama yang muda pada tahun sembilan-puluhan, saya terdampar pada satu seminarium tentang masa depan ekonomi dari Afrika Selatan, ANC baru saja sampai kepanggung kekuasaan.

Dengan merasa sangat heran saya duduk dan mendengarkan anak-anak muda umur duapuluhtahunan dari World Bank dan International Monetary Fund (IMF) yang arrogant dan memakai jas gelap yang perfekt, bicara tentang keharusan proces privatisasi yang total dan mendalam di Afrika Selatan. Tampaknya surrealist mendengar suara yang dingin dan netral dari keluaran Harvard yang baru itu bicara mengenai dipecatnya ratusan ribu pekerja-pekerja hitam yang langsung akan dilemparkan kedalam kelaparan dan kemiskinan karena pemberi pinjaman menuntut hal itu.

APA YANG TIDAK saya fahami waktu itu adalah kenyataan bahwa Bank Dunia dan IMF menyampaikan model-model neo liberalisme itu bukan sebagai usul untuk negeri-negeri dunia ketiga, melainkan sebagai diktat. Hasilnya kita semua ketahui: krisis ekonomi, suatu masyarakat yang dihancur-leburkan serta krisis kepercayaan sangat besar terhadap ANC yang sebagai partai tidak bisa mendapatkan kembali kepercayaan umum. Hal yang sama terjadi dimana-mana, tidak hanya di Afrika. Waktu itu, pada tahun sembilan-puluhan, hanya ada satu-satunya jalan bagi negeri-negeri miskin yang perlu meminjam dari Barat. Dibuku barunya jurnalis dan aktivis Kanada Naomi Klein, apa yang dinamakan sebagai jalan satu-satunya itu telah menapatkan satu nama. Dia menamakannya secara singkat ”Doktrin-doktrin shock”.

Itu adalah sebuah buku yang fantastisk dan menyeramkan yang Klein telah tulis. Pada suatu ketika kelihatannya tidak mungkin untuk memikirkan suatu sukses ulangan dari Bible aktivis ”No Logo”, namun ”Doktrin-doktrin shock” adalah lebih dari itu, ia adalah suatu karya matang yang membikin sesuatu yang begitu luar biasa seperti satu percobaan untuk menjelaskan masa yang kita jalani sekarang. Secara pribadi saya percaya bahwa itu merupakan salah satu buku terpenting dalam dekade ini.

NAOMI KLEIN MENCERITAKAN bahwa dia mendapatkan idé buku itu ketika redaksi Harper´s Bazaar memutuskan untuk mengirimnya ke Irak. Dia memikir untuk menulis sebuah artikel tentang bagaimana sikap penduduk terhadap rencana-rencana penguasa-okupasi untuk memprivatisasikan dan mengobral sektor industri kepada perusahaan-perusahaan asing langsung dimuka mata mereka.

Setelah sampai disana dia melihat bahwa orang-orang Irak terlalu sibuk untuk mencari air bersih dan melindungi diri dari bom-bom serta penyerbuan-penyerbuan, sehingga tidak perduli dengan apa yang terjadi dengan ekonomi negerinya. Dia melihat juga bahwa semua yang terjadi di Irak – kaos, pencetusan kekerasan dan kemasa-bodohan yang sistematis serta diperhitungkan – dapat dipakai sebagai model untuk bisa mengerti recept taktis dari kapitalisme masa kini, sesuatu yang akan dia sebut sebagai ”Doktrin-doktrin shock”.

Sesungguhnya, menurut Naomi, cerita tentang Irak dimulai pada dekade yang lain dan di kontinent yang lain sama sekali. Kita harus kembali ke tahun tujuhpuluhan dan ke Sekolah neokonservatif Chicago yang tersohor serta pendeta utamanya. Milton Friedman, untuk bisa mengerti siapa dan apa yang menanam bibit ideologis, yang boleh dikatakan telah memberikan buahnya untuk pertama kali dengan Perang Irak.

Kita semua tahu bagaimana USA dan CIA, secara militer dan dengan bantuan ekonomi telah menyokong jendral Augusto Pinochet yang ditakuti, supaya dia bisa mejatuhkan pemerintah sosialisnya Allende dan kemudian menyatakan dirinya sebagai diktator.

Yang tidak begitu diketahui adalah bahwa ”sokongan” Amerika juga mempunyai segi ekonomis/ideologis. Pada tahun tujuhpuluhan, profesor ekonomi Milton Friedman yang konservatif telah bekerja sebagai penasehat pribadi Pinochet. Friedman – menurut pengetahuan saya satu-satunya penerima hadiah Nobel yang bersahabat karib dengan diktator-diktator – mempunyai pendapatnya sendiri yang optimistis terhadap krisis-krisis. Disalah satu karyanya yang penting dia menyatakan bahwa ”hanya suatu krisis – yang real atau yang dalam fantasi”- bisa mendatangkan perubahan yang sejati.

DI CHILE dia dan pengikut-pengikutnya – ratusan orang-orang Chile telah diberi pendidikan ekonomi gratis di Universitas Chicago – mendapatkan kesempatan untuk mepelajari suatu nasion dalam keadaan krisis. Setelah kup negara yang penuh kekerasan, negeri itu ditimpa pula oleh hyper-inflasi. Friedman memberi Pinochet recept yang kemudian merupakan obat standard yang diordinasikan, yang menyebabkan musibah bagi pasien-pasiennya: penurunan pajak, pelaksanaan free-trade, privatisasi sektor service, pemotongan-pemotongan sektor public dan deregulasi. Kecuali itu dia mendapat perintah untuk melaksanakan hal-hal ini secepat mungkin, sebelum penduduk yang kena shock dan sudah kena penderitaan berat sempat bereaksi.

Klein menulis, bahwa tigapuluh tahun kemudian, recept shock ini bisa dipakai lagi di Irak – hanya saja kali ini dengan cara yang lebih penuh kekerasan. Pertama-tama negeri ini dilucuti senjatanya. Kemudian dinvasi. Ketika penduduknya masih dalam keadaan shock yang akut, negeri ini ”dibuka” untuk investor-investor asing. Irak, dimaksudkan untuk dijadikan Disneylandnya ekonomi yang baru, ”Harimau di Tigris”, sebagaimana salah seorang dari administrasinya Bush bilang bercanda. Sementara penduduk dicekam oleh serdadu-serdadu lego dan perusahaan-perusahaan sekuriti privat, maka pemilik-pemilik modal serta pekerja-pekerja asing hidup bersenang-senang di zon yang terlindung, dimana hamburger dan gym menimbulkan illusi bahwa mereka sedang berada dalam liburan di Florida.

Sebaliknya dari apa yang selalu dikatakan Bush, orang-orang Amerika sejauh mungkin berusaha untuk mengundur-undur pemilu di Irak – dan okupasi dari Irak, tulis Klein, tidak pernah bertujuan untuk ”membangun kembali” negeri ini, melainkan untuk menghancurkannya, membelah-belahnya, dan menawarkan potongan-potongannya untuk dijual kepada Barat.

Seperti umpamanya mereka sangat terburu-buru untuk menulis undang-undang tentang minyak. Hal mana telah membawa perusahaan-perusahaan seperti Shell dan BP untuk menandatangani perjanjian yang berlaku selama 30 tahun dan yang memberi mereka hak untuk mengantongi bagian sangat besar dari penghasilan minyak Irak. Uang yang sebetulnya dan seharusnya bisa dipakai untuk membangun kembali negeri yang babak-belur itu sekarang melenyap ke Barat. Ini adalah doktrin shocknya Friedman dalam bentuknya yang paling bagus – tidak pernah kapitalisme katastrofi membongkar dirinya begitu tuntas seperti di Irak.

DENGAN LATAR BELAKANG DARI fakta-fakta ini Naomi berpendapat bahwa tiga puluh lima tahun yang terakhir ini rupanya sangat lain. Banyak dari kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dianggap sebagai tindakan-tindakan sadis yang terisolir dari rezim-rezim anti demokratis, tapi menurut Klein dilakukan untuk membikin rakyat ketakutan dan untuk mempersiapkan jalan untuk reforma-reforma pasar yang radikal – serta kapitalisme rampok.

SESUATU YANG SPESIAL MENARIK dari satu pasal dibuku itu adalah tentang terapi shock militer dan metode torture yang dengan persetujuan diam-diamnya CIA dikembangkan di Montreal pada tahun-tahun 50-an. Para dokter menjalankan experiment terhadap individu-individu yang mempunyai penyakit jiwa ringan, antara lain mereka dikenakan shock elektris dan drugs yang psykedelisk. Metode-metode yang dikembangkan di kamar-kamar seram modern ini adalah yang sekarang dipakai di Guantanamo Bay dan di penjara Abu Ghalib.

Melalui pemakaian torture sebagai metaphor, Klein ingin meperlihatkan bahwa ini adalah sikap yang sama yang menjadi basis dari terapi-shock ekonomis; kepercayaan bahwa manusia adalah paling baik sebagai lembaran bersih belum ditulisi, bahwa orang harus menghapus masa lalu untuk membentuk sesuatu yang baru. Utopi neoliberal ini mempunyai persamaan-persaman yang keras dengan marxisme, dan sama-sama tak pandang bulu.

Dan yang membikin ”terapi-shock” ini sangat menyeramkan ialah bahwa ia dengan demikian menyimpulan bahwa kejadian-kejadian yang kelihatannya terpisah-pisah telah membentuk suatu pola. Itu bukan konspirasi, sebagaimana kaum kanan sering bilang, melainkan suatu pola baru-tua dari dominasi Barat dan terutama Amerika. Harganya supaya dominasi ini bisa dipelihara bisa tak terbatas tingginya.

TAPI PERTANYAAN YANG timbul bila membaca bukunya Klein apakah neoliberalisme – atau neokonservatisme tidak sedang dihadapkan pada tantangan-tantangannya yang paling serius.

Setelah kegagalannya di Irak, kelihatannya rezim Bush sedang cepat mempersiapka diri untuk serangan baru – kali ini terhadap Iran. Dispekulasikan bahwa Israel akan disuruh mengambil langkah pertama, opini Amerika tidak bisa menerima peperangan baru. Jika Iran diserang, betapapun juga itu akan berakhir dengan katastrof, barangkali perang dunia. Dan sekaligus krisis ekonomi di USA berakselerasi – barangkali lebih serius dan lebih mendalam daripada yang telah diramalkan.

Kita tidak bisa tidak bertanya-tanya, seperti John Graynya The Guardian, apakah kapitalisme katastrofi tidak telah berjalan terlalu jauh.

Satu katastrof lagi tak lain berarti satu katastrof terlalu banyak.


ULRIKA KÄRNBORG
Ulrika.karnborg@dn.se