2008-04-30

Aditjondro

RESENSI BUKU

ADITJONDRO: KORUPSI KEPRESIDENAN

Oleh: Tahir Pakuwibowo

George Junus Aditjondro, pria kelahiran Pekalongan ini, terpaksa meninggalkan Indonesia pada tahun 1995 dan hijrah ke Australia karena kritik-kritiknya yang pedas terhadap invasi Indonesia di Timor Leste. Sebagai wakil direktur eksekutif Walhi, dia pernah pada tahun 1987 menerima dari Suharto penghargaan Kalpataru karena jasa-jasanya dilapangan riset lingkungan hidup. Tapi 10 tahun kemudian penghargaan ini dia kembalikan sebagai protes terhadap berbahagai pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia dan diberbagai tempat didunia.

Aditjondro telah menuntut berbagai pendidikan akademis di Makassar, Salatiga, Semarang dan mengambil doktoratnya di New York (Cornell University). Sejak Januari 1996 menjadi lektor jurusan sosiologi dan antropologi di Universitas New Castle, Australia. Disini pula dia mengembangkan mata kuliah Sosiologi Korupsi dan meneliti korupsi yang dilakukan oleh rezim Suharto.

Dalam bukunya ”Korupsi Kepresidenan” Aditjondro berhasil mengumpulkan sejumlah besar material yang menunjukkan betapa luasnya korupsi dan mendalamnya budaya korupsi yang dikembangkan selama masa Orde Baru. Aditjondro mengupas praktek-praktek korupsi terutama pada zaman kepresidenan Suharto, tapi juga setelah Suharto jatuh 1998, berturut-turut semasa kepresidenan Habibi, Gus Dur dan Megawati. Menurut Adicondro, Habibi itu sama korupnya seperti Suharto. Gus Dur tidak korup tapi menjalankan praktek-praktek KKN tertentu yang menguntungkan konco-konco separtainya. Soal Megawati berputar terutama pada sumbu praktek-praktek bisnis suaminya, Taufiq Kiemas yang tidak selalu bersih.

Korupsi Suharto itu mempunyai struktur yang jelas. Ia ditegakkan diatas tiga kaki, istana, tangsi dan partai penguasa. Ketiga kaki itu saling mendukung satu sama lain dan saling sama-sama meberikan keuntungan melalui KKN (Kolusi. Korupsi dan Nepotisme), sehingga sulit dirubuhkan. Akibat KKN dalam ketiga kaki oligarki itu Suharto beserta kroni-kroninya, terutama anak-anaknya serta anggauta-anggauta keluarganya yang lain, berhasil membangun suatu imperium ekonomi yang luar biasa, yang secara geografis menjangkau Afrika, Asia, Amerika Latin (Suriname) dan Eropah. Tapi itu semua sama sekali bukan untuk kepentingan nasional dan rakyat Indonesia melainkan untuk kepetingan kerakusan mereka sendiri.

Beberapa metode busuk yang dipakai untuk memperkaya diri: pemberian hak monopoli tertentu kepada anak-anak Suharto, umpamanya monopoli import cengkeh dari Afrika. Pendirian ”yayasan-yayasan” dengan kedok ”bantuan kepada rakyat kecil”, padahal sebenarnya dibelakangnya adalah bisnis besar tanpa bayar pajak. Banyak ”yayasan” ini diketuai oleh Suharto sendiri. Sistim pembukuannya selalu gelap dan tidak transparent. Ada satu grup yayasan Indonesia yang kekayaannya lebih besar dari grup yayasan terkaya di USA.

Investor-investor multinasional mengerti bahwa supaya mereka bisa melakukan investasi modal yang lukratif di Indonesia, mereka harus meberikan sekian persen dari saham perusahaannya kepada salah satu anak Suharto. Ini selain bentuk-bentuk suapan lainnya. Metode selanjutnya adalah pemakaian peralatan-peralatan negara untuk keperluan bisnis pribadi anak-anaknya Suharto, umpamanya pengangkutan sapi-sapi dari Australia ke ranchnya Tommy Suharto di Jawa Barat dengan kapal-kapal pengangkut milik Angkatan Laut.

Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada KKN ini menumbuhkan kapitalis-kapitalis kaya raya luar biasa yang telah mencapai posisi top bukan karena kegigihan usaha-usahanya yang keras mulai dari bawah atau kecanggihannya sebagai pengusaha, melainkan karena kedekatan dengan centrum kekuasaan. Suapan-suapan para investor asing mengakibatkan tender yang tidak adil. Yang menang tender bukanlah mereka yang punya solusi paling baik dan paling murah, melainkan mereka yang menyuap paling banyak. Akibat daripada sistim tender semacam ini, Indonesia diikat dengan perjanjian tidak seimbang jangka panjang (30-40 tahun) dengan para investor tersebut yang sangat merugikan Indonesia (contoh tambang emas Freeport di Papua Barat).

Satu-satunya hal yang bisa dianggap ”positif” dari perkembangan ini adalah bahwa pada akhirnya Suharto terpaksa lengser. Walaupun Indonesia pada suatu periode tertentu dianggap sebagai salah satu ”macan-macan ekonomi Asia”, tapi sesungguhnya, sebagaimana kita telah lihat, kalau dibanding dengan negeri-negeri seperti Korea, Taiwan, Singapur atau Malaysia, perkembangan ekonomi di Indonesia jaman Orde Baru adalah perkembangan ekonomi yang semu. Akibatnya, ketika krismon (krisis moneter) meledak, Indonesia adalah negeri yang terkena krisis ekonomi paling parah dan paling susah untuk bangun kembali. Akibat perkembangan ekonomi semu itu masih terasa sampai sekarang. Dari krismon menjadi kristal (krisis total). Sementara para taipan beserta kroni-kroninya berpesta pora di Singapur, rakyat Indonesia semakin sengsara.

Saya rasa bukunya Adicondro ”Korupsi kepresidenan” patut dibaca oleh semua orang Indonesia, supaya kita semua mengerti mekanisme ”menanjaknya” ekonomi Orde Baru dan akhirnya kebangkrutannya.

Inga kommentarer: