2008-07-28

Resensi Buku "Princess"


PRINCESS – sebuah resensi

Oleh: Tahir Pakuwibowo



Tanggal 1 Agustus 1990, Riyadh (ibukota Saudi Arabia) digemparkan oleh sebuah berita, bahwa Saddam Hussein telah mengirimkan pasukan-pasukannya untuk melakukan invasi militer kilat di Kuwait. Penguasa Saudi Arabia menguatirkan bahwa Iraq akan menyantap dua makanan sekaligus (Kuwait dan Saudi Arabia).

Ribuan pengungsi dari Kuwait mengalir ke Saudi. Penduduk Saudi menaruh simpati besar kepada pelarian dari negeri saudara dan tetangganya. Kaum perempuan Saudi, disamping rasa simpati, juga sekaligus merasa sangat iri hati kepada saudara-saudara perempuannya dari Kuwait yang datang tanpa kerudung sambil menyetir mobil pula!!! Kebebasan semacam itu hanya sekedar merupakan mimpi disiang bolong bagi perempuan Saudi.

Akibat ancaman dari Iraq, penguasa Saudi akhirnya membolehkan penempatan pasukan-pasukan kafir (USA) ditanah sucinya Islam ini. Kaum perempuan Saudi ternganga mulutnya melihat serdadu-serdau perempuan Amerika bergerak bebas kesana kemari tanpa kawalan orang laki. Mereka sendiri tidak boleh sama sekali bekerja diluar lingkungan rumahnya dan tidak boleh keluar rumah sendirian tanpa ada pengawal laki-lakinya. Kalau mereka mau bepergian keluar-negeri, mereka harus membawa selain paspor, juga surat izin dari suaminya atau ayahnya.

Cerita semacam ini dan banyak lagi lainnya ditulis dalam Princess, sebuah roman autobiography seorang puteri istana dari klan Al Saud yang bernama Sultana (nama samaran), sebagaimana diceriterkannya kepada penulis Amerika sahabatnya Jean P. Sasson. Jean sendiri tinggal di Saudi Arabia sejak 1978. Saya membaca versi Inggerisnya, tetapi saya dengar ada versi Indonesianya juga.

Ada beberapa keuntungan membaca Princess. Dengan buku ini kita bisa melihat dan mempelajari dari dalam, kehidupan dinegeri Saudi Arabia, terutama tragedi kaum perempuannya. Walaupun isinya serius, tapi karena diuraikan dalam bentuk roman yang spannend dan penuh dramatik dan lagi dalam satu struktur yang bagus, buku ini enak dibacanya. Ketika saya masih kecil, saya pernah dengar pepatah ”lain padang, lain belalang”. Saya mengertikannya sebagai ”lain negeri, lain adatnya”. Karena saya sendiri asal Madura/Jawa, soal-soal adat di Padang, Batak, Sulawesi, Kalimantan dll. selalu menarik bagi saya.

Dengan sendirinya mempelajari adat Saudi Arabia, negeri suci Islam, lebih menarik lagi, sungguh execeptionil menarik. Namun sudah bisa saya katakan dari permulaan, membaca Princess bagi saya merupakan juga suatu ”shocking experience”. Mulut saya ternganga membaca bagaimana kaum laki-laki Saudi memperlakukan kaum perempuannya. Di Indonesiapun belum tercapai persamaan antar gender, tapi kalau dibanding dengan perempuan Saudi, maka perempuan Indonesia masih boleh merasa beruntung atas kedudukannya. Baiklah saya coba menyuguhkan beberapa cuplikan kesimpulan dari isi buku Princess.

Perkawinan

Di Saudi berlaku hukum Syari’ah. Orang laki-laki diperbolehkan menurut hukum mepunyai empat isteri, hal mana sudah diketahui umum dan tidak menggemparkan lagi. Tapi soalnya yang spesifik buat Saudi Arabia, bukannya sekedar diizinkan secara hukum, melainkan dipraktekkan sangat luas, terutama dikalangan keluarga istana yang bergelimang dengan petro-dollar. Kecuali itu telah diterima secara sosial (socially accepted) bahwa para sheiks dan pangeran-pangeran mempunyai puluhan selir selain keempat isterinya offisiilnya, bahwa mereka tiga empat kali setahun pergi ke Thailand atau Filipina untuk belanja seks.

Saudi Arabia adalah suatu negeri super patrialkal. Disini laki-laki yang kuasa, laki-laki yang punya suara, kaum perempuan tidak ada harganya sama sekali kecuali sebagi obyek seks serta wadah untuk melahiran anak-anak ketrurunan, dan karena itu harus tutup mulut. Perempuan tidak punya hak memilih calon suaminya, itu adalah hak prerogatif laki-laki, ayahnya. Dan hebatnya lagi, sang ayah cepat-cepat mencarikan calon suami bagi anak perempuannya, segera setelah sang gadis untuk pertama kalinya mendapatkan mens. Ini bisa berarti bahwa gadis-gadis umur 13, 14, 15 tahunan dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat bagi kakek-kakek diatas 60 tahun! Sang ayah tidak perduli apakah suami gadis ciliknya itu pendek, bulat, jelek dan brutal (juga brutal secara seksuil). Yang penting sang menantu adalah seorang kaya atau bangsawan, dan bisa meluaskan social network yang penting bagi sang ayah. Ini bukan suatu hal yang tidak biasa di Saudi Arabia. Kalau dinegeri lain pasti dianggap sebagai pedofili yang menjijikkan, tapi di Saudi normal-normal saja.

Kehormatan keluarga dan ”Kamar perempuan”

Masyarakat Saudi menjungjung tinggi kehormatan keluarga. Tapi yang dianggap bisa merusak nama baik keluarga kebanyakan adalah perempuan. Perempuan dianggap sumber segala musibah didunia. Seorang Ibu selalu merasa ketakutan kalau tidak melahirkan anak laki-laki, yang selalu diagung-agungkan dalam keluarga Saudi.

Kalau terjadi persoalaan perzinahan, maka yang salah pasti yang perempuan dan harus dihukum keras. Pihak laki-lakinya selalu lepas dari tanggung jawab. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang perempuan yang dituduh berzinah telah masuk rumah sakit karena harus melahirkan. Kamarnya dijaga pulisi supaya dia tidak bisa lari. Begitu selesai melahirkan datang beberapa mutawa dan mengangkutnya ketempat hukuman. Mutawa adalah orang-orang agamis yang berfungsi sebagai pulisi moral atau pulisi agama dan sangat ditakuti, juga oleh pangeran-pangeran Al Saud. Ditempat hukuman, sang wanita yang dianggap berzinah dan baru melahirkan itu dilempari batu selama dua jam sampai dia mati. Ini terjadi diabad keduapuluh!

Di Saudi Arabia, seorang ayah bisa menjatuhkan hukuman mati kepada anaknya yang dianggap telah melakukan ”perbuatan yang tidak pantas” dan karena itu menodai kehormatan keluarga. Diceritakan dalam Princess bahwa seorang gadis yang ketahuan pacar-pacaran dengan beberapa anak muda telah dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya dengan cara menenggelamkannya di kolam renang di villanya atau istananya didepan mata seluruh keluarga besar sang ayah (empat istri dan anak-anaknya yang segerobak). Kejadian kejam demikian tidak ada yang memprotes. Sebaliknya sang ayah mendapatkan pujian dari para ulama dan mutawa karena dia telah ”menjunjung tinggi moral bangsa”.

Suatu bentuk hukuman lain yang juga menyeramkan dan barangkali bahkan paling menyeramkan ialah apa yang dinamakan ”kamar perempuan” (The Woman Room). Seorang gadis waktu belajar di London jatuh cinta kepada seorang pemuda katolik Amerika dan lari dengan dia ke USA. Tapi dia akhirnya bisa dibujuk pulang ke Saudi. Sesampainya kembali dinegeri kelahirannya, pamannya memutuskan untuk menghukumnya dengan ”kamar perempuan”. Ayah gadis itu sudah meninggal, dan kekuasaan atas diri si gadis jatuh automatis ketangan pamannya yang kejam. Sang paman menyuruh para pekerja bangunan menemboki jendela-jendela disalah satu kamar divillanya, mengganti pintu kamar dengan pintu yang tahan suara dan hanya ada lubang kecil untuk menyodorkan sepiring makanan dan segelas minuman. Sang gadis dijebloskan kedalam kamar gelap itu oleh pamannya untuk seumur hidup, tanpa chans untuk keluar! Dia dibiarkan membusuk, menjadi gila dan mati pelan-pelan dalam isolasi total!

Tenaga Kerja Wanita Asing

Kalau ada yang lebih rendah derajadnya dari kaum perempuan Saudi, maka itu adalah kaum tenaga kerja wanita asing. Saudi Arabia yang kaya raya selalu menjadi magnet buat pekerja-pekerja asing. Ayah Sultana sendiri mempunyai puluhan babu, jongos, tukang masak, pekerja kebun dsb. Ayah Sultana punya empat istana diempat kota di Saudi. Semua istananya mesti sama persis, besarnya, bentuknya, perabotannya dsb. Kalau mereka pergi berkunjung kesalah satu kota itu dengan pesawat Lear Jet pribadinya (dengan pilot-pilot kafir Amerika), maka mereka tidak perlu bawa koper, karena diistana yang berikutnya sudah ada segala sesuatunya yang persis sama seperti ”dirumah”, pakaian, handduk, buku-buku, mainan anak-anak, pring-piring, sampai-sampai mobil-mobil Mercedes atau Jaguarnya. Kalau mereka beli sesuatu, mereka selalu beli empat exemplar yang persis sama, untuk ditaruh diempat istananya masing-masing.

Sultana menceritakan bahwa pekerja-pekerja asing yang memberikan service dikeluarganya diperlakukan secara fair. Mereka datang dari segala penjara dunia, Mesir, Sudan, India, Pakistan dan Filipina. Indonesia tidak disebut-sebut sama sekali dalam buku itu. Barangkali waktu itu belum umum. Tapi tidak semua pekerja asing diperlakukan secara baik di Saudi seperti halnya ditempat keluarga Sultana. Salah satu babunya Sultana dari Filipina yang bernama Marci, menceritakan riwayat yang mengenaskan dari teman sekampungnya. Temannya itu rupanya diimport ke Saudi Arabia bukan hanya sebagai babu biasa, tetapi juga sekaligus sebagai hamba sex (sex slave). Dalam kontraknya tidak tertulis tentang hal itu, tapi dia diperkosa beberpa kali setiap hari oleh sang ayah dan dua anak laki-lakinya dikeluarga itu. Si babu Filipina itu tidak berani melapor kepada pulisi, karena dia tahu bahwa pulisi akan selalu menganggap tuan rumah Saudinya yang benar dan mereka sama sekali tidak perduli terhadap nasibnya seorang babu Filipina.

Masyarakat Saudi

Karena kekayaan yang datang tiba-tiba berkat minyaknya, menurut Sultana, orang-orang Saudi itu tidak mempunyai motivasi untuk kerja keras. Terutama para pengeran dan sheik-sheik yang bergelimang dengan petro dollar, mereka merasa bosan dengan hidup sehari-harinya. Semuanya sudah tersedia tanpa mereka perlu bikin sesuatu. Pemeliharaan kesehatan gratis untuk semua, begitu juga pendidikan. Hal ini menyebabkan mereka pada mencari sensasi dengan perempuan, alkohol dan narkoba.

Walaupun disatu pihak masyarakat Saudi kelihatannya sangat teramat puritan dan konservatif, dengan para mutawa (polisi moral atau agama) yang selalu memasang mata elangnya, (tertuama terhadap kaum perempuan), namun dilain pihak orang-orang pada secara diam-diam dibelakang layar minum alkohol dan menggunakan narkoba. Kalau mereka tidak bisa melakukan segalanya itu didalam negeri, meraka terbang ke Eropa atau tempat lain untuk melampiaskan nafsunya. Para pangeran itu sebetulnya benci kepada para mutawa. Ini menunjukkan dichotomi yang menyolok dalam masyarakat Saudi, yang pada saatnya nanti akan membawa keruntuhannya, apalagi kalau sumber minyaknya mulai susut. Saudi Arabia adalah negeri auktoriter yang tertutup dan sangat tidak harmonis, penuh dengan konflikt dan kemunafikan.

Bayangkan, Saudi Arabia itu sudah cukup lama punya banyak dollar, tapi kita tidak pernah dengar tentang ”economic miracle” dinegeri itu, seperti halnya kita mendengar tentang Cina. Memang gedung-gedung pencakar langit yang indah tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Tapi tampaknya tidak ada kemajuan ekonomi yang sejati. Di Indonesia ada kelompok-kelompok yang ingin meniru-niru segi konservatif dari Saudi Arabia. Saya percaya bahwa teman-teman pernah baca tentang satu kejadian di Jawa Barat, dimana seorang Ibu yang habis pulang kerja sore-sore dan sedang menunggu bus, ditangkap oleh orang-orang yang sok-sokan meniru para mutawa di Saudi karena Ibu tsb. dianggap berkelakuan ”tidak pantas”. Apa-apaan sih ini? Kepada saudara-saudara perempuan Indonesia saya ingin bertanya, apakah kalian mau Indonesia dijadikan suatu negeri gelap seperti Saudi Arabia yang melecehi kaum perempuan?



4 kommentarer:

Wish, Dreams & Fullfillness sa...

Dear Pak Tahir, utk melengkapi, silahkan baca buku dengan judul: HONOR LOST oleh Norma Khouri. Sudah diterjemahkan ke bhs Swedia dgn judul: FÖRLORAD HEDER.

Itu buku tentang persahabatan 2 wanita Jordan, dimana salah satunya dibunuh oleh ayah & abangnya sendiri krn ketahuan pacaran dengan seorang pria & dianggap mempermalukan nama baik keluarga.

Ironisnya & sedih sekali, sang ibu tak mampu membela/menyelamatkan hidup puterinya sendiri.

Gilaaa sekali, kehormatan keluarga berada di atas hak hidup seorang manusia.

nuria sa...

Menarik sekali, pak. Saya juga sedih dengan banyaknya muslim Indonesia yang ke-Islam-annya mengacu muslim Saudi Arabia. Karena buat saya, seperti bapak sebutkan, "Lain ladang, lain belalang": Qur'an-nya sama, (mestinya) interpretasinya berbeda. Agak riskan memang, tapi kalau niatnya baik, seberapapun berbeda interpretasinya, tentu hasilnya juga tetap baik. Atau mungkin buat Saudi Arabia, itulah yang terbaik, ya, 'kan "Lain ladang, lain belalang." Weks...

Tahir sa...

Bu Nina, saya akan cari buku HONOR LOST dan akan saya baca. Thx atas infonya.

Tahir sa...

Bu Nuri, saya mengharap agar Islam dinegeri kita tetap Islam Indonesia yang toleran. Islam menurut saya bisa macam-macam interpretasinya, tidak bisa cuma satu. Paling tidak ada dua, Sunni dan Shia, masih banyak lagi yang lain. Bhinneka Tunggal Ika!